Sebuah acara pemutaran film dan diskusi bertajuk “Disability Screening and Discuss 2014” pertama kali diadakan oleh Ikatan Mahasiswa Okupasi Terapi (IMOTI), Program Vokasi, Universitas Indonesia, pada Kamis (17/4/2014) di Cinema RoomPerpustakaan UI. Acara ini diselenggarakan atas kerja sama IMOTI dengan Festival Film Disabilitas, Yogyakarta. Festival Film Disabilitas ini sedang melakukan road show atas film pendek indie hasil festival.
Dengan banyak pilihan film yang ditawarkan, akhirnya pihak IMOTI memilih dua film, yaitu Dua Sisi Inklusi dan My Brother Hera. Film Dua Sisi Inklusi menjabarkan dua sisi sekolah inklusi. Pada dasarnya, sistem pendidikan inklusi di Indonesia secara tekstual dapat dikatakan ideal, tetapi penerapannya masih dianggap sebagai kebijakan yang semu. Hal tersebut yang diusung menjadi tema utama dalam film ini. Sementara itu, My Brother Hera bercerita tentang Hera yang mengalami autisme, tetapi dia berprestasi menjadi atlet renang se-Asia Pasifik.
Setelah pemutaran film selesai, acara dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan tiga pembicara. Pembicara dalam diskusi ini adalah dosen Okupasi Terapi Universitas Indonesia yang juga Direktur Klinik Tumbuh Kembang Anak YAME, dr. Tri Gunadi, Amd. OT., S.Ps., Ketua Pusat Kajian Disabilitas FISIP UI, Prof. Irwanto, Ph. D., dan Praktisi Yayasan Autisme Indonesia (YAI), Taufiq Hidayat.
Ketiganya memaparkan tentang apa yang selama ini disebut disabilitas. Akan tetapi, sebuah pandangan lain dari Irwanto menunjukkan bahwa seharusnya kata yang digunakan bukan disability, tetapi ability. “Bagaimana mungkin anak-anak dengan kebutuhan khusus itu diterima oleh sekolah jika yang ‘dijual’ adalah keterbatasan mereka.
Seharusnya, yang dilihat dari mereka adalah kemampuannya yang bisa lebih dari orang lain. Dengan demikian, nantinya, tidak ada lagi orang yang memandang bahwa ada disability dalam diri mereka, tetapi yang dilihat adalah adanya ability,” tutur Irwanto.
Pengubahan sudut pandang itu juga termasuk tentang pembedaan antara normal dan tidak normal pada diri manusia. “Padahal, segala hal yang ada dalam diri manusia adalah variasi, bukan masalah normal atau tidak normal,” tutur Irwanto di atas kursi rodanya.
Pemutaran film dan diskusi ini bertujuan untuk memberikan sudut pandang lain dalam memandang orang-orang dengan ability-nya. “Dengan begitu, masyarakat luas tidak memandang sebelah mata terhadap orang-orang yang berkebutuhan khusus tersebut,” tutur Putri Dirgantara, ketua pelaksana acara ini. (FSN)