Rabu (10/9/2014), Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) mengadakan ceramah budaya dengan tema “Menggali Potensi Budaya Malu dan Budaya Kebersalahan dalam Upaya Mengatasi Perilaku Korupsi di Indonesia: Perspektif Strategi Kebudayaan”. Ceramah budaya ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Dr. Ir. Satrio Arismunandar, M.Si., M.B.A. (Aliansi Jurnalis Independen dan doktor Ilmu Filsafat FIB UI) dan Ade Irawan (Perwakilan dari Indonesia Corruption Watch).
Ceramah budaya ini membahas korupsi sebagai sebuah budaya yang sudah mengakar hampir pada setiap kalangan. “Kalau boleh saya katakan, korupsi di Indonesia itu sudah merambah ke dalam setiap lini kehidupan, tidak peduli kelas sosial, skala besar-kecil, atau bahkan jenis kelamin,” tutur Arismunandar ketika membuka ceramah budaya tersebut.
Arismunandar menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan budaya malu dan budaya kebersalahan. Kedua budaya ini umumnya ditafsirkan sebagai emosi moral. Akan tetapi, tafsiran akan sedikit berbeda ketika menyangkut keterlibatan orang lain. Budaya malu (shame culture)adalah segala emosi yang melibatkan orang lain dan sanksi yang dikenakan adalah sanksi eksternal, sedangkan budaya kebersalahan (guilty culture) adalah emosi yang ada pada diri sendiri dengan sanksi internal.
Menurut Arismunandar, di Indonesia—atau secara lebih luas Asia—budaya malu menjadi hal yang lebih penting daripada budaya kebersalahan. Misalnya, ketika seseorang tahu dirinya bersalah, tetapi orang lain tidak ada yang mengetahuinya, maka seseorang tersebut akan merasa baik-baik saja karena ia tidak perlu merasa malu kepada orang lain. Sementara itu, hal ini akan berbeda dengan masyarakat Eropa yang budaya kebersalahannya lebih besar daripada budaya malu. Ketika seseorang melakukan kesalahan, ia akan merasa bersalah terhadap dirinya, terlepas dari ada atau tidaknya orang lain yang mengetahui.
Kedua budaya ini tentu saja dapat dikaitkan dengan budaya korupsi di Indonesia. Korupsi sudah terjadi dalam setiap lini masyarakat. Seseorang yang korupsi—jika tidak diketahui oleh orang lain—akan tetap merasa bahwa ia tidak korupsi. Selain itu, jika seseorang melakukan korupsi, tetapi lingkungannya tidak memberikan sanksi sosial, ia juga akan tetap baik-baik saja tanpa merasa bersalah. Kedua budaya ini dapat dikatakan sebagai faktor penting terkait korupsi yang menggurita di Indonesia. (FSN)
(Ilustrasi: www.gettyimages.com)