id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Polemik Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan

shutterstock_320888510-ilustrasi pengadilan

Kamis (21/1/2016), Lembaga Pengkajian Hukum Acara dan Sistem Peradilan Indonesia menyelenggarakan diskusi ilmiah dengan tajuk “Penetapan Tersangka sebagai Objek Gugatan Praperadilan”.

Acara yang dilaksanakan pada Kamis, 21 Januari 2016 ini menghadirkan Dr. Dian Puji Simatupang, S.H., M.H., Dr. Freddy Haris, S.H., LL.M, Dr. Ibrahim, S.H., M.H., LLM., Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H, Aristi PangaribuanS.H., LL.M dan Thorkis Pane, S.H., M.H sebagai pembicara.

Dalam acara yang bertempat di ruang Boedi Harsono Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini, Thorkis Pane mengatakan bahwa permasalahan mengenai penetapan tersangka sebagai objek praperadilan mencuat setelah adanya upaya praperadilan yang dilakukan oleh Komjen Pol Budi Gunawan pada awal tahun 2015 yang lalu.

Budi Gunawan pada waktu itu mengajukan upaya praperadilan karena merasa kepentingan hukumnya dirugikan serta mengalami ketidakadilan dalam penetapan status tersangkanya oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).

Polemik mengenai penetapan tersangka yang dapat dipraperadilankan ini pun semakin hangat diperdebatkan tatkala Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan Budi Gunawan dan menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik-03/01/01/2015 yang menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka adalah tidak sah.

Febby Mutiara Nelson dalam makalahnya pada diskusi publik ini mengungkapkan bahwa putusan yang dikeluarkan Hakim Sarpin bukanlah putusan pertama yang mengabulkan permohonan praperadilan mengenai keabsahan penetapan tersangka.

Sebelumnya, terdapat putusan Hakim Suko Harsono dalam perkara praperadilan dengan pemohon Bachtiar Abdul Fatah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ungkap Febby.

Selanjutnya, perdebatan mengenai praperadilan semakin menggema ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan No.21/PUU-XII/2014 yang melegalkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.

Dalam tataran konsepnya, praperadilan lahir karena terinspirasi dari keberadaan prinsip Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon. Habeas Corpus memberikan jaminan fundamental terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia terutama yang menyangkut dengan hak kemerdekaan.

Praperadilan di Indonesia bersifat limitatif yakni hanya terbatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan serta mengenai permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas perkaranya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Aristo mengatakan dengan adanya putusan MK Nomor 21/PUU/XII/2014 tersebut membuka peluang pengujian keabsahan penetapan tersangka dengan memperluas kewenangan praperadilan.

Meskipun begitu, Junaedi mengatakan perlindungan terhadap hak tersangka tidak diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan adanya tindak pidana sehingga dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang ada.

 

Penulis : Kelly Manthovani

Related Posts

Leave a Reply