Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI melalui Jurnal Antropologi Indonesia menyelenggarakan simposium internasional yang ke-6 pada 26—28 Juli 2016.
Tema simposium ini adalah “Post-Reformasi Indonesia: The Challenges of Social Inequalities and Inclusion” yang membahas persoalan-persoalan kesenjangan sosial dan inklusi sosial yang terjadi di masa sesudah era reformasi di Indonesia.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Hilmar Farid, dalam pidato kehormatan saat pembukaan acara menekankan pentingnya aspek budaya dalam melihat persoalan-persoalan yang melanda negeri ini.
Masalah sosial bahkan politik saat ini kebanyakan ditinjau dari satu sudut saja, terutama pada isu-isu yang nampak di permukaan.
“Kajian yang lebih mendalam kini amat diperlukan, di sinilah perlu pendekatan budaya untuk menggali faktor-faktor yang bermain di belakang gejala yang nampak di permukaan.”
Menurut Hilmar, antropologi sebagai bagian dari ilmu yang mendalami persoalan budaya menjadi strategis peranannya.
Menurutnya, kita terlalu lama menganggap budaya sebagai ekspresi kesenian belaka, padahal bermainnya kekuasaan dan praktek politik, misalnya, amat dipengaruhi oleh budaya.
Pendapat ini turut didukung oleh Prof. Dr. James Fox, ahli Antropologi kawakan dari Australian National University.
Menurut guru besar yang sudah pensiun tetapi masih aktif meneliti dan menerbitkan buku-buku etnografi ini, minat antropologi pada hal-hal kecil yang terlihat biasa dan sepele justru bisa mengungkap hal-hal besar yang lebih kasat mata.
Acara ilmiah ini menyajikan 172 makalah dari pembicara yang berasal dari 15 negara. Mereka adalah para peneliti sosial budaya yang menyajikan hasil penelitian dan analisisnya atas kondisi 18 tahun pasca-reformasi di Indonesia.
Topik pembahasan pada presentasi terkait isu identitas sosial, konflik etnis dan agama, masalah kewarganegaraan, sampai persoalan pengembangan energi alternatif, dan gender.
Penulis : Wanda Ayu