id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Menyesuaikan Sistem Mitigasi Bencana dengan Budaya Masyarakat

mitigasi-bencana

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) menggelar Seminar Perubahan Iklim bertajuk “The impact of climate change to sustainability development” pada Rabu (23/11/2016) di Ruang B 101 FMIPA UI.

Topik ini dibahas dengan menghadirkan beberapa narasumber yang kompeten di bidangnya, yaitu Prof. Jatna Supriatna (Pakar Perubahan Iklim UI),  Dr. rer. nat. Armi Susandi (Pakar Perubahan Iklim ITB), Dr. Yunus S. Swarinoto (Deputi Bidang Meteorologi BMKG), dan Dr. Sutopo Purwo Nugroho (Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB).

Kondisi dinamika atmosfer Indonesia yang lembab dan basah meningkatkan kejadian bencana hidrometeorologi di beberapa wilayah Indonesia seperti banjir bandang di Bandung dan Aceh, tanah longsor di Garut, serta angin kencang di Kalimantan Selatan.

Dr. Sutopo dalam pemaparannya mengatakan bahwa untuk mengatasi bencana-bencana ini perlu dilakukan migitasi bencana yang dilakukan oleh tiga pilar utama, yaitu pemerintah, masyarakat sipil, dan swasta.

Namun, menurutnya faktor yang paling susah untuk dikendalikan adalah unsur masyarakat.

“Tantangan mitigasi utama di Indonesia adalah memadukan unsur budaya dengan struktur mitigasi yang sudah ada,” ujarnya.

Contoh yang paling nyata adalah perkiraan cuaca atau iklim yang dipunyai BMKG sudah akurat dan transparan, namun banyak masyarakat yang tidak mempergunakan informasi tersebut.

“Mitigasi bencana belum menjadi budaya di kita, kita cenderung acuh tak acuh serta pasrah terhadap potensi-potensi bencana di sekitar kita,” tambahnya.

Hal ini menyebabkan upaya-upaya pengelolaan dan pencegahan bencana jadi sulit dilakukan. Ia mencontohkan seperti ulah pencurian masyarakat setempat terhadap baterai-baterai seismograf yang dipasang di seantero gunung berapi di Indonesia.

Contoh lain seperti, sistem peringatan dini untuk longsor yang biasanya malah dijadikan tiang jemuran oleh masyarakat setempat, dan tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Selain itu, lanjut dia, pascabencana  masyarakat kita juga cenderung pasif dan tidak tangguh dalam menghadapi bencana, karena terbiasa disuapi oleh pemerintah dan bantuan-bantuan swasta lainnya.

Menurutnya, solusi yang paling baik dalam menghadapi kondisi masyarakat ini adalah membuat suatu sistem peringatan bencana yang menyesuaikan dengan kondisi budaya masyarakat setempat.

Ia mencontohkan bila masyarakat setempat terbiasa mendengar suara “Allahu Akbar” sebagai penanda gempa, maka kebiasaan masyarakat setempat tersebut dapat masuk sebagai salah satu komponen dalam sistem peringatan dini bencana yang ada.

Penulis : Wanda Ayu

Related Posts