id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Menangkal Gerakan Radikal dengan Peningkatan Peran Pemuda

Rawpixel.com/Shutterstock

Rabu (30/11/2016), Pusat Studi Asean (PSA) Universitas Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI menyelenggarakan simposium bertajuk “Membendung Violent Extremism dan Islamophobia: Peran Penting Kaum Muda” di Auditorium Juwono Sudarsono (AJS), FISIP, Universitas Indonesia.

Dilaksanakan dalam dua sesi, simposium ini membahas dua topik dalam membendung paham kekerasan. Sesi pertama yang berjudul “Violent Extremism dan Islamophobia” diisi oleh Brigjen. Pol. Eddy Hartono S.IK, M.H., (Kepala Detasemen Khusus 88 (Anti Teror)), Hurriyah, S.Sos., IMAS (Dosen Ilmu Politik FISIP UI), Ali Wibisono, S.Sos., M.A. (Dosen Ilmu Hubungan Internasional UI), dan Prof. Dr.  Azyumardi Azra, CBE (Guru Besar UIN Jakarta).

Sementara itu, sesi kedua yang berjudul “Islam, Media, dan Pemuda dalam Membendung Violent Extremism dan Islamophobia” diisi oleh (Nitia Anisa,  Presenter Kompas TV) dan Wahyu Aji (CEO Good News From Indonesia (GNFI)). Di akhir simposium, terdapat Rekomendasi Kebijakan yang disampaikan oleh Badrus Sholah, Ph.D. (UIN Jakarta).

Mewakili Dirjen Kerjasama ASEAN, Jose Antonio Morato Tavares menyampaikan pidatonya sebagai Keynote Speaker. Menurut Jose, aksi kekerasan ekstrem seringkali diasosiasikan dengan kelompok tertentu, misalnya pemeluk agama Islam, melalui penyebaran paham penggunaan kekerasan atas nama agama. Inilah yang memunculkan sentimen kebencian terhadap umat muslim (Islamophobia) di berbagai negara.

Di samping itu, kemajuan teknologi juga turut dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis untuk merekrut anak muda, terutama melalui sosial media. Oleh karena itu, penting untuk menyebarkan narasi tandingan (counter-narratives) untuk melawan Islamophobia sekaligus memberdayakan pemuda agar tak terjebak ideologi radikal. Hal ini dapat diwujudkan dengan menyebarkan diskursus Islam sebagai masyarakat yang pluralis dan inklusif sebagai nation-branding Indonesia.

Menurut Prof. Azyumardi, gerakan radikalisme agama ini muncul karena faktor internal dan eksternal. Pemahaman yang literal dan tidak utuh terhadap kitab suci atau doktrin tertentu dalam agama merupakan faktor internal yang sangat kuat. Selain itu, sekretarianisme atau fanatisme terhadap aliran tertentu dalam agama juga berperan melahirkan radikalisme. “Padahal, jarang sekali ada agama yang benar-benar tunggal alirannya. Aliran-aliran yang muncul itu bukan hanya berbeda, tapi juga terkadang bertentangan satu sama lain.”

Menyikapi perbedaan paham yang muncul itu, ia menegaskan pentingnya penguatan Islam Watasiyyah untuk mengatasi radikalisme. Islam Watasiyyah merujuk pada Islam yang inklusif, akomodatif dan toleran. Pemahaman tentang Islam yang moderat ini menurutnya harus disosialisasikan pada setiap jenjang pendidikan dan di dalam keluarga.

Sementara itu, faktor ekonomi menjadi salah satu faktor eksternal yang cukup berperan dalam menyuburkan gerakan radikalisme ini. Hal ini turut diamini oleh Hurriyah. “Masyarakat dengan ekonomi yang lemah dan secara psikologis merasa dirugikan dengan keberadaan kelompok lain cenderung lebih mudah untuk bergabung dengan gerakan radikal,” ujarnya. Oleh karena itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat juga menjadi penting dalam memerangi radikalisme yang pro kejahatan ini.

Simposium ini merupakan implementasi dari hasil simposium oleh ASEAN Intergovernmental Peace and Reconciliation (AIPR) Indonesia, Symposium on the Repercussion of Violent Extremism Towards Moderates, di Yogyakarta bulan November 2015. AIPR merupakan suatu institut penelitian dalam bidang perdamaian dan rekonsiliasi konflik di ASEAN yang dibentuk pada tahun 2012 dan berpusat di Jakarta yang merupakan prakarsa Indonesia.

 

Penulis: Dara Adinda Kesuma Nasution

Ilustrasi foto : Shutterstock.com

Related Posts