Sidang Terbuka Upacara Pengukuhan Guru Besar (GB) Universitas Indonesia (UI) yang berasal dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) dan Fakultas Kedokteran (FK), dipimpin Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D, diselenggarakan Sabtu lalu, (24/4). Pengukuhan yang dilaksanakan secara virtual tersebut antara lain dihadiri dr. Lies Dina Liastuti, Sp.JP(K), MARS, FIHA (Direktur Utama RSCM), Dr. Siti Khalimah, Sp.KJ, MARS (Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kemenkes RI), Prof. Dr. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, SpPD-KHOM (Ketua Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Pusat), serta Majelis Wali Amanah, Dewan Guru Besar, Senat Akademik, Sekretaris Universitas, para wakil rektor, dan 300 orang yang hadir pada kesempatan tersebut. Acara tersebut disiarkan juga melalui UIteve dan kanal Youtube UI dengan 448 views.
Prof. Dr. dr. Rismala Dewi, Sp.A(K)., Guru Besar Tetap FK UI, seorang di antaranya. Rismala menyampaikan pidato berjudul “Kegawatdaruratan Pada Anak: Seberapa Jauh Kita Melangkah, Menentukan Kualitas Generasi Penerus Di Masa Depan”. Selama ini, Prof. Rismala dikenal sebagai pakar bidang ilmu kesehatan anak dan aktif dalam kepengurusan organisasi sebagai sekretaris Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) cabang DKI Jakarta (2014-sekarang) dan sekretaris bidang pengembangan pelayanan tingkat lanjutan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta.
Dalam waktu 10 tahun terakhir, ia menghasilkan 39 karya ilmiah yang telah dipublikasikan skala nasional dan internasional. Dalam pidatonya, Prof. Rismala memaparkan bahwa pelayanan kesehatan sebagai salah satu indikator kemajuan suatu bangsa dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk angka kematian anak yang masih cukup tinggi yaitu 32/1000 kelahiran. Anak merupakan tahap kehidupan manusia yang sangat rentan karena mengalami pertumbuhan dan perkembangan sehingga perlu perhatian khusus terutama dalam kasus kegawatdaruratan untuk mencegah kematian dan komplikasi yang akan menghambat kemandirian dalam aktivitas sehari-hari. Penanganan kasus kegawatdaruratan pada anak memerlukan koordinasi dari berbagai disiplin ilmu dan profesi yang baik, respons cepat dan tanggap, sistem yang runut, serta fasilitas yang memadai. Kondisi pasien anak dengan kegawatdaruratan dapat dinilai secara cepat menggunakan sistem skoring seperti Pediatric Assessment Triangle (PAT), Pediatric Early Warning System (PEWS), Pediatric Logistic Organ Dysfunction Score (PELOD)-2, Pediatric Sequential Organ Failure Assessment (pSOFA), dan lain sebagainya.
Sistem tersebut dapat memprediksi dan menempatkan pasien anak sesuai pelayanan yang optimal baik pemantauan, penatalaksanaan, dan tempat rawatan baik rawat biasa maupun rawat intensif anak/pediatric intensive care unit (PICU). “Untuk menurunkan angka kematian anak sesuai Sustainable Development Goals (SDGs), diperlukan evaluasi tentang sistem kegawatdaruratan yang sudah ada terlebih dahulu. Adanya Sistem Penanganan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) untuk komunikasi, penanganan, dan transportasi pasien merupakan langkah awal yang baik. Akan tetapi, masih banyak hal yang perlu dibenahi seperti ketersediaan sarana-prasarana yang terbatas, sense of emergency dan pengetahuan serta attitude dokter yang menangani, fasilitas kesehatan yang masih belum merata, konsultan intensivis pediatrik yang masih sedikit, sistem rujukan yang kurang optimal pengaplikasiannya, transportasi pindah rawat yang kurang memadai,” ujarnya.
Berdasarkan hal itu, Prof. Rismala mengatakan diperlukan strategi dan inovasi untuk menjawab tantangan tersebut yaitu mengedukasi orangtua terkait tanda-tanda bahaya dan penatalaksanaan awal, menambah fasilitas seperti alat pemantauan dan diagnostik, menambah kapasitas daya tampung PICU, serta membentuk suatu sistem pengambilan keputusan pada kasus kegawatdaruratan anak yang terintegrasi.
Sedangkan untuk meningkatkan kualitas tenaga medis yang terkait, dapat dilakukan seminar dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta melakukan pengampuan ke rumah sakit jejaring oleh pusat pendidikan kedokteran setempat. Ia mengusulkan diperlukan koordinasi antara Ikatan Dokter Anak Indonesia, Kementerian Kesehatan, dan organisasi lain non pemerintah dalam sistem penanganan gawat darurat terpadu termasuk rujukan khusus pada kegawatdaruratan pada anak sehingga dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas sehingga akan terwujud generasi penerus yang berkualitas.