NATHALINA N., AHLI HUKUM UI: DELIK PENCULIKAN ANAK BISA KENA PASAL BERLAPIS
Akhir-akhir ini, kasus kekerasan terhadap anak, seperti penculikan, adopsi illegal (termasuk perdagangan bayi), pembunuhan untuk perdagangan organ tubuh, serta eksploitasi seksual pada anak, kerap terjadi. Menurut Nathalina Naibaho, Pengajar Bidang Studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), faktor ekonomi bukanlah satu-satunya alasan pendorong terjadinya kasus penculikan anak. Dendam terhadap keluarga korban, keinginan untuk menjadikan korban sebagai anak, serta eksploitasi seksual terhadap anak melalui child grooming adalah beberapa faktor lain yang mendorong terjadinya kasus penculikan anak.
“Dalam salah satu kasus penculikan anak yang baru-baru ini terjadi, orang tua korban tidak mengetahui catatan kejahatan yang dimiliki pelaku, sehingga mereka tidak curiga atau khawatir saat korban berinteraksi dengannya. Kebetulan, orang tua korban memiliki warung makanan yang membolehkan siapa saja untuk datang. Mungkin keluarga juga mengajarkan kepada anaknya agar bersikap ramah terhadap pelanggan. Karena itu, saat pengawasan orang tua agak kendor, kesempatan itu dimanfaatkan pelaku untuk menjalankan aksinya,” ujar Nathalina.
Pada kasus kejahatan yang berulang, Nathalina melihat adanya persoalan resosialisasi pelaku tindak pidana sehingga dia kembali berurusan dengan sistem peradilan pidana. Ini dapat disebabkan oleh belum mampunya seorang pelaku melanjutkan kehidupan yang baru dengan pekerjaan yang lebih baik, sehingga perekonomiannya tetap sulit dan niat untuk melakukan hal yang salah muncul kembali.
Lantas, bagaimana sebenarnya hukum di Indonesia mengatur penculikan dan kasus pelecehan terhadap anak? Dalam perspektif hukum, delik penculikan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 328 dan Pasal 333. Untuk korban anak, aturan yang diterapkan adalah Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2022 dan perubahannya dalam UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016). Jika dalam pemeriksaan kepolisian (yang dikuatkan hasil visum et repertum) ditemukan adanya indikasi perbuatan cabul atau kekerasan seksual, pasal lain dalam UU Perlindungan Anak akan diterapkan melalui lembaga gabungan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 65 KUHP dan dapat memperberat ancaman pidana bagi pelaku.
“Secara singkat, dasar hukum untuk kasus penculikan anak yang disertai dengan pencabulan atau kekerasan seksual adalah Pasal 76E dan Pasal 76F UU 35/2014 jo Pasal 82 UU 17/2016 dan Pasal 83 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 KUHP. Dalam hal ini, hukuman bagi pelaku ditambah sepertiga, yaitu ancaman hukuman maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp5 milyar. Korban berhak mendapat rehabilitasi, mengajukan ganti rugi dalam bentuk restitusi, mengajukan pemasangan alat pendeteksi elektronik pada pelaku, dan mengumumkan identitas terdakwa ke publik,” kata Nathalina.
Dari banyaknya kasus penculikan terhadap anak, Nathalina melihat adanya pola yang dapat diidentifikasi. Modus operandi yang biasanya dilakukan pelaku adalah dengan membujuk dan mengelabui korban secara manipulatif. Pelaku memberi makanan dan minuman, mengajak ngobrol dan jalan-jalan, atau menunjukkan mainan/permainan, gambar, dan tayangan yang menarik bagi anak. Bahkan, sebagian menawari korban pekerjaan ringan dengan menjajikan upah tertentu. Pelaku juga bisa menggunakan tipu muslihat dengan mengaku sebagai teman atau kerabat orang tua, serta menggunakan kekerasan dan/atau ancaman sehingga anak terpaksa menurutinya.
Menurut Nathalina, untuk mencegah terjadinya kasus penculikan anak, diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua. Langkah preventif dilakukan melalui pengawasan yang proporsional dan tepat, baik melalui teknologi (CCTV, patroli virtual, aplikasi panic button) maupun dengan meningkatkan kewaspadaan masyarakat di area umum, seperti sekolah, tempat les, taman bermain, pusat perbelanjaan, dan transportasi publik. Anak harus diberi edukasi agar meminta izin kepada orang tua atau keluarga dan memberi tahu tujuannya jika hendak pergi dengan siapa pun. Anak juga harus diajarkan untuk menolak ajakan, ancaman, dan paksaan dari orang yang tidak dikenal.
Selain itu, jika terjadi kasus penculikan, langkah represif dapat dilakukan dengan melaporkan penculikan pada pihak berwajib agar korban mendapatkan perlindungan yang optimal dan pelaku dapat dihukum secara pidana. UU Perlindungan Anak mengatur korban penculikan anak mendapat perlindungan khusus yang meliputi penanganan cepat (termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya); pendampingan psikososial saat pengobatan hingga pemulihan; serta perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan. Bagi korban dari keluarga kurang mampu, ia berhak menerima bantuan sosial. Perlindungan khusus ini dilakukan agar anak korban penculikan dapat segera pulih dari trauma.