Sinergi antara pers dan divisi hubungan masyarakat (humas) suatu organisasi berperan penting dalam menyajikan berita yang informatif dan akurat kepada masyarakat. Dengan kolaborasi yang erat, jurnalis dapat mengandalkan humas untuk mendapatkan wawasan mendalam, sementara humas dapat memanfaatkan kekuatan media untuk menyampaikan pesan dengan lebih luas dan efektif. Di tengah era digital yang berkembang pesat, praktisi humas juga dituntut untuk lebih proaktif dalam membangun relasi yang baik dengan pihak media.
Guna memupuk rasa solidaritas antara pers dan humas, Universitas Indonesia (UI) melalui Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) UI mengadakan workshop untuk mendalami peran penting pers dan relasinya dengan humas. Kegiatan yang diselenggarakan pada Selasa (21/11) di Gedung Integrated Laboratory & Research Center (ILRC), Kampus UI, Depok tersebut diikuti oleh tim Biro Humas dan KIP UI serta perwakilan dari beberapa tim humas dari fakultas, sekolah pascasarjana dan program vokasi UI.
Dalam sambutannya, Kepala Biro Humas dan KIP UI, Dra. Amelita Lusia, M.Si. mengatakan, “Di UI, seluruh tim humas bekerja sama dalam membangun branding UI dan bersama-sama menjaga reputasi UI. Masih banyak hal untuk ditingkatkan, digali, dan dipelajari. Kegiatan hari ini tidak hanya berupa sharing, tetapi sifatnya juga dialog. Kami berharap apa yang disampaikan hari ini akan bermanfaat bagi kita semua.”
Workshop ini menghadirkan Asmono Wikan, S.Sos., M.I.Kom sebagai narasumber untuk membicarakan dinamika pers dan praktik relasi media. Saat ini, Asmono menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) PR Indonesia Group dan merupakan anggota Dewan Pers. Menurut Asmono, 70 persen pekerjaan humas merupakan praktik media relation, baik dengan media konvensional atau media sosial. Oleh karena itu, praktisi humas harus merawat relasi dengan rekan pers karena media merupakan salah satu stakeholder penting.
Dalam pemaparannya, Asmono mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapi pers dewasa ini. Hampir seluruh pekerja media saat ini bergantung pada platform media sosial atau algoritma Google untuk mengetahui berita yang sedang hangat dibicarakan. Maka, dikhawatirkan media akan gagal jika tidak ada platform. Selain itu, aspek ekonomi di dunia pers juga tengah mengalami ketidakstabilan sehingga tidak selalu menjamin produksi karya yang berkualitas.
“Untuk menarik perhatian pembaca dan meningkatkan traffic, sekarang ini muncul clickbait. Ini merupakan permainan media yang dapat menyudutkan pihak humas karena isi berita kerap tidak sesuai dengan judul. Sementara itu, beberapa media arus utama mencoba mengambil hati publik untuk mendukung mereka menghadirkan jurnalisme berkualitas dengan cara berlangganan. Sayangnya, sebagian besar masyarakat Indonesia belum rela membayar untuk membaca berita,” ungkap Asmono.
Humas dinilai memiliki fungsi yang sangat strategis karena berperan menjadi penasihat Board of Directors (BOD) suatu organisasi dalam berkomunikasi. Dalam banyak kasus, pimpinan tidak paham lanskap media sehingga praktisi humas harus memilih media dengan kualitas jurnalisme yang baik dan independen. Tidak hanya mengenal reporternya, paktisi humas juga perlu mengetahui redaktur dan pemilik dari suatu media supaya dapat memahami ideologinya.
Asmono mengatakan, “Sebagai humas, aturan pokoknya adalah jangan pernah melakukan kesalahan. Tugas pertama humas adalah mengoreksi semua hal supaya informasi yang keluar dari organisasi perfect. Ketika organisasi mengalami masalah, humas perlu mengedepankan komunikasi krisis sebagai upaya recovery kesalahan untuk memperbaiki reputasi yang tergores. Selain itu, humas sebagai praktisi komunikasi perlu berbicara dengan jelas dan dengan data yang akurat. Berbicara boleh saja sembarangan, tetapi ketika kita berkomunikasi, harus ada pesan yang disampaikan.”
Penulis : Dyra Daniera | Editor: Finda Salsabila