Depok, 24 Februari 2024. Saleh Husin, Menteri Perindustrian Indonesia Periode 2014–2016, yang juga merupakan Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Indonesia (UI) periode 2019–2023, memperoleh gelar doktor dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI, pada Sabtu (24/2). Ia berhasil mempertahankan disertasinya dan meraih predikat summa cum laude IPK 3.96. Sidang promosi tersebut diketuai oleh Direktur SKSG UI, Athor Subroto, S.E., M.M., M.A., Ph.D, dengan Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si., M.M. sebagai Promotor, Dr. Drs. A. Hanief Saha Ghafur, M.S. dan TM Zakir Machmud, Ph.D sebagai Ko-Promotor.
Adapun tim penguji terdiri atas Dr. Fibria Indriati Dwi Liestiawati, S.Sos., M.Si.; Muliadi Widjaja, Ph.D; Mohamad Dian Revindo, Ph.D; Muhammad Syahroni Rofii, S.H.I., M.A., Ph.D. Pada sidang promosi doktor yang diadakan di Makara Art Center (MAC) UI tersebut turut dihadiri oleh Wakil Presiden RI periode 2004-2009 dan 2014-2019 Dr. H. Muhammad Jusuf Kalla; Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, Jenderal TNI H. Wiranto; Hakim Mahkamah Konstitusi, Dr. Arsil Sani serta para Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diantaranya Dr. Lestari Moerdijat, S.S., M.M; Dr. H. Jazilul Fawaid, SQ., M.A; dan Prof. Dr. Sjarifuddin Hasan., M.M., M.B.A. Adapun dari pihak UI antara lain Ketua Majelis Wali Amanat, Dr. (HC) Noni Purnomo., B.Eng; Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof.Dr. rer Nat Abdul Haris; Wakil Rektor bidang SDM dan Aset, Prof. Dr. Ir. Dedi Priadi, DEA; serta Rektor UI periode 2014-2019 Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met.
Saleh Husin mengangkat topik bertema “Hilirisasi Industri Sawit untuk Memperkuat Perekonomian Nasional dan Meningkatkan Posisi Tawar Indonesia dalam Perdagangan Dunia”, sebagai kajian disertasinya. Ia berpendapat bahwa Indonesia merupakan produsen dan konsumen minyak sawit terbesar di dunia. Sawit juga merupakan komoditas ekspor paling utama bagi Indonesia.
Nilai ekspor minyak kelapa sawit pada 2021 sebesar US$ 28.606 juta, naik 55,10% dibandingkan tahun 2020. Tingginya kenaikan nilai ekspor ini berdampak terhadap ketahanan nasional Indonesia secara ekonomi dan global.
Sayangnya, posisi tawar Indonesia pada perdagangan sawit internasional masih relatif lemah. Meski Indonesia menghasilkan banyak minyak sawit mentah, harga patokannya ditentukan oleh bursa Malaysia dan Eropa (Rotterdam). Selain itu, Indonesia menghadapi banyak tantangan untuk bersaing di pasar global, seperti produktivitas sawit nasional yang rendah dan adanya kampanye anti-sawit dari negara-negara Eropa. Untuk itu, dibutuhkan strategi yang tepat agar Indonesia dapat meningkatkan posisi tawar di pasar global dan melakukan hilirisasi industri sawit.
Hilirisasi adalah proses pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai. Dalam industri minyak sawit, hilirisasi mengacu pada pemrosesan dan pemurnian minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) menjadi produk bernilai lebih tinggi, seperti minyak sawit yang disuling (refined), dikelantang (bleached) , dan dihilangkan baunya (deodorized).
Pemrosesan ini merupakan tahap akhir dari rantai pasokan minyak sawit sebelum produk dijual ke pengguna akhir. Segmen industri hilir kelapa sawit termasuk produk yang digunakan dalam industri makanan, seperti minyak goreng, margarin, dan shortening, serta produk non-makanan seperti sabun, deterjen, dan biodiesel.
Hilirisasi industri sawit dapat memperkuat perekonomian nasional, karena meningkatkan nilai tambah produk ekspor dan menurunkan impor. Hilirisasi di dalam negeri memerlukan produk hulu yang lebih banyak, sehingga ekspor produk hulu harus menurun. Simulasi yang dilakukan dalam disertasi ini menunjukkan bahwa apabila penurunan ekspor produk hulu sebesar 5% dan ekspor produk hilir meningkat 15%, diperkirakan devisa Indonesia akan meningkat sebesar 7 miliar USD per tahunnya. Dengan demikian, Produk Domestik Bruto yang merupakan indikator pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat.
Selain itu, hilirisasi dapat memperbaiki produktivitas dan petani sawit swadaya. Petani sawit swadaya menguasai 42% lahan sawit di Indonesia, namun produksinya hanya 2–3 ton per hektar per tahun, masih jauh dibandingkan dengan perkebunan besar yang mencapai 5–7 ton per hektar per tahun. Kualitas tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan juga lebih rendah, sehingga harga yang dibayarkan kepada petani lebih rendah. Oleh karena itu, hilirisasi diperlukan agar petani dapat memproduksi kelapa sawit dengan standar lebih tinggi.
“Subsidi pupuk, bimbingan teknis, dan bantuan lainnya perlu diberikan kepada para petani swadaya, sampai mereka dapat menghasilkan produk dengan kualitas yang sama dengan produk petani plasma dan perkebunan besar, serta menjualnya dengan harga tinggi, sama tinggi dengan tanaman sawit yang berasal dari perkebunan besar,” ujar Saleh.
Hilirisasi industri sawit juga dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia di perdagangan dunia. Menurut Saleh, pembeli minyak kelapa sawit Indonesia terdiri atas dua kelompok, yakni pembeli untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, seperti India dan Tiongkok, dan pembeli yang menjual kembali ke negara lain, seperti Malaysia dan Belanda. Negara yang menjual kembali produk kelapa sawit Indonesia mengambil keuntungan sangat besar. Dengan adanya hilirisasi, Indonesia dapat memperkecil ekspor ke negara pedagang kelapa sawit, dengan tidak mengurangi produksi nasional.
Hilirisasi industri kelapa sawit di Indonesia harus terus dijalankan sesuai dengan Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional 2015–2035 beserta dengan aturan penjabarannya. Bahkan, pelaksanaan program tersebut dipercepat, sehingga Indonesia dapat membangun industri baru yang menggunakan bahan baku utama minyak kelapa sawit, seperti industri kosmetik, sabun, coklat, dan biodiesel.
Saleh mengatakan, “Hilirisasi akan sukses jika didukung oleh regulasi dan perpajakan ekspor minyak kelapa sawit yang tepat. Diperlukan suatu instrumen untuk mengurangi ekspor produk hulu dan meningkatkan ekspor produk hilir kelapa sawit. Indonesia juga perlu meningkatkan kerja sama dengan negara penghasil sawit khususnya di ASEAN, dalam hal riset pengembangan produk hilir kelapa sawit. Investor penghasil produk turunan minyak kelapa sawit dapat diundang untuk mendirikan pabrik di Indonesia dan mengekspor produk tersebut, dengan catatan investasi ini lebih menguntungkan.”
Selain kebijakan, program hilirisasi akan berjalan jika didukung dengan keberhasilan Bursa CPO Indonesia yang diluncurkan pada 13 Oktober 2023. Lembaga ini harus kredibel dan menjadi referensi untuk harga CPO yang diakui dunia. Pemerintah perlu memberikan insentif bagi perusahaan sawit yang bertransaksi pada Bursa CPO Indonesia agar penjual dan pembeli sawit nyaman bertransaksi di lembaga ini dan bersedia memindahkan transaksinya dari bursa Malaysia dan Rotterdam.
Bursa CPO Indonesia harus dapat memberi keuntungan bagi petani sawit. Melalui transparansi harga dan transaksi, para pengusaha tidak lagi dapat menekan harga TBS dan petani dapat menjual TBS-nya pada bursa ini. Keberhasilan pemanfaatan bursa CPO untuk keuntungan petani bergantung pada kemampuan mereka mengelola risiko dan berpartisipasi dalam pasar. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan merupakan komponen penting yang harus diberikan oleh pemerintah.