Depok, 1 Agustus 2024. Universitas Indonesia (UI) melalui Fakultas Kedokteran (FK) bersama dengan University of Oxford telah mengumumkan penyelesaian Uji Klinis Fase 2 terhadap vaksin malaria baru yang diproduksi Sanaria Inc. Uji coba ini merupakan uji vaksin malaria pertama yang pernah dilakukan di Indonesia dan pertama di Asia-Pasifik dalam 30 tahun terakhir.
Pada pelaksanaannya, uji klinis yang diumumkan secara resmi pada 27 Mei 2024 ini juga bekerja sama dengan Pusat Kesehatan Angkatan Darat (PUSKESAD) dan Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan melibatkan 345 tentara Indonesia dari Batalion 132 di Bangkinang, Riau, yang berpartisipasi dalam studi secara sukarela. Para tentara dibagi ke dalam dua kelompok, yakni kelompok yang memperoleh vaksinasi dan kelompok yang mendapatkan suntikan plasebo.
Kemudian, tentara tersebut berangkat tugas dari Bangkinang, wilayah bebas malaria, ke Kabupaten Keerom, Papua, wilayah endemik malaria. Tujuannya adalah melihat bagaimana vaksinasi bekerja bagi orang-orang yang belum pernah terinfeksi malaria saat mereka berada di wilayah risiko tinggi malaria.
“Penelitian ini unik karena melibatkan populasi yang belum pernah terkena malaria, yang kemudian bepergian ke daerah endemik malaria. Dengan memvaksin para tentara yang belum pernah terinfeksi sebelum mereka bepergian ke daerah berisiko tinggi, kami bisa menguji efektivitas vaksin ini dalam kondisi nyata,” ujar Prof. Dr. dr. Erni Juwita Nelwan, Ph.D., Sp.PD., K-PTI., FACP., FINASIM., Guru Besar FKUI sekaligus peneliti utama dalam riset ini.
Lebih lanjut, para tentara divaksinasi sepanjang Mei hingga September 2022 sebelum kemudian berangkat tugas ke Kabupaten Keerom. Tim peneliti memantau dan menangani lebih dari 700 kasus malaria selama masa penugasan di Papua. Tim peneliti melanjutkan pengawasan terhadap para tentara selama enam bulan setelah mereka kembali ke Bangkinang dan menangani 300 kasus malaria selama periode ini.
Kedua vaksin yang diuji terbuat dari parasit malaria hidup, khususnya jenis Afrika Barat, yang dilemahkan dengan cara berbeda. Parasit di dalam Vaksin Sanaria® PfSPZ dilemahkan menggunakan radiasi. Parasit di dalam Vaksin Sanaria® PfSPZ-CVac dilemahkan dengan obat klorokuin yang diberikan secara oral kepada para partisipan studi.
Hasil uji cobanya menunjukkan bahwa vaksin Sanaria® PfSPZ aman dan dapat ditoleransi dengan baik, sama seperti plasebo yang berupa larutan garam fisiologis. Vaksin Sanaria® PfSPZ-CVac juga terbukti aman dengan efek samping ringan. Kedua vaksin memberikan perlindungan terhadap malaria yang disebabkan parasit Plasmodium falciparum yang ditemukan di Papua, meskipun vaksinnya terbuat dari jenis malaria yang berbeda.
Dekan FKUI Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH., MMB mengatakan, “Uji klinik fase 2 tentang vaksin malaria merupakan riset penting dalam pengembangan vaksin. Mudah-mudahan uji klinik bisa berlanjut sehingga keberadaan vaksin ini benar-benar bermanfaat dalam upaya memberantas malaria di Indonesia dan dunia. FKUI terus mendukung berbagai uji klinik The Oxford University Clinical Research Unit (OUCRU) melanjutkan kerja sama yang telah berlangsung sejak 13 tahun yang lalu,” kata Prof. Ari.
Menyambung hal tersebut, Direktur OUCRU Indonesia Prof. J. Kevin Baird menyampaikan bahwa malaria adalah masalah besar di dunia dan Indonesia. “Pekerjaan kami di OUCRU Indonesia mengutamakan penjalinan kerja sama dengan mitra lokal untuk menemukan solusi efektif bagi penyakit menular yang dapat diterapkan di seluruh dunia. Keberhasilan uji coba ini membuktikan kekuatan kemitraan tersebut dan merupakan langkah penting menuju eliminasi malaria,” ujar Prof. Baird.
Kepala Medis Sanaria Thomas L. Richie mengatakan bahwa keefektivan lintasjenis ini sangat penting untuk eliminasi malaria global, karena ada banyak spesies malaria di dunia. Berdasarkan temuan tersebut, pihaknya sedang mengembangkan vaksin generasi berikutnya bernama PfSPZ-LARC2 dengan harapan menunjukkan hasil yang lebih baik lagi.
Hasil studi yang lebih rinci akan dipublikasikan pada akhir tahun setelah melalui peer-review. Penelitian yang didanai oleh Congressionally Directed Medical Research Program (AS) dan dipimpin oleh Prof. Erni J. Nelwan dari FK UI ini merupakan langkah penting dalam perjuangan melawan malaria.