id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Pencegahan dan Pengobatan Monkey Pox

Depok, 14 September 2024. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) melaporkan bahwa sejak wabah Monkeypox (Mpox) pertama kali muncul di Indonesia pada 2022, hingga kini tercatat 88 kasus. Berdasarkan data Kemenkes yang diperbarui pada 14 Agustus 2024, terdapat 14 kasus baru setelah sebelumnya mencatat 74 kasus antara Juli 2022 hingga Mei 2023.

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Dr. Syahrizal Syarif, M.P.H., Ph.D., menyatakan bahwa Monkeypox termasuk dalam kategori penyakit Self-limited Diseases, yaitu penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya dalam 2 hingga 4 minggu melalui penanganan medis yang tepat. “Dengan pengobatan yang tepat, pasien bisa sembuh dalam waktu dua sampai empat minggu,” kata Dr. Syahrizal.

Mpox yang menyebar di Indonesia, menurut Dr. Syahrizal, berasal dari strain Clade 2. “Clade 2 lebih sulit menular dan memiliki angka kematian yang rendah, yaitu di bawah 1%. Sedangkan Clade 1, yang lebih umum di Afrika, memiliki tingkat kematian 5-10%,” katanya. Menurut data Kemenkes, strain Clade 2 yang ada di Indonesia memiliki risiko penularan yang lebih rendah dibandingkan dengan Clade 1.

Meskipun bukan penyakit endemik di Indonesia, Mpox tetap menjadi ancaman bagi kelompok berisiko tinggi. “Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan Mpox sebagai Public Health Emergency of International Concern. Mpox berpotensi menyebar terbatas di Indonesia, terutama di kalangan kelompok berisiko tinggi. Oleh karena itu, kewaspadaan dan pencegahan harus tetap dilakukan,” katanya lebih lanjut.

Gejala dan Cara Penularan Mpox
Mpox memiliki dua tahap gejala utama. Tahap awal ditandai dengan demam, sakit kepala, batuk, pilek, serta pembesaran kelenjar getah bening di leher dan ketiak. Gejala tersebut kemudian berkembang menjadi ruam di kulit. Pada tahap lanjutan, ruam tersebut berubah menjadi benjolan berisi nanah yang kemudian pecah dan mengering menjadi koreng. Dr. Syahrizal menambahkan bahwa lokasi ruam paling sering muncul di wajah, tangan, punggung, dan mulut, namun pada gelombang wabah 2022-2023, ruam juga banyak ditemukan di area genital dan anus.

Mpox dapat menular melalui kontak erat dengan penderita. Dr. Syahrizal menyebutkan, “Mayoritas kasus (86%) terjadi pada laki-laki yang berhubungan sesama jenis, dan sekitar 6% pada kelompok transgender dan biseksual.” Meskipun Mpox bukan penyakit menular seksual, penularan lebih mungkin terjadi pada kelompok yang berisiko tinggi melalui kontak fisik langsung atau hubungan seksual.

Meskipun demikian, risiko penularan di masyarakat umum tergolong rendah. “Mpox tidak menular dengan mudah pada masyarakat umum. Namun, mereka yang merasa mengalami gejala mirip Mpox harus segera memeriksakan diri karena gejalanya sering kali mirip dengan herpes atau cacar air,” ujar Dr. Syahrizal.

Diagnosis Mpox dilakukan melalui tes PCR, dan sebagian besar kasus hanya memerlukan isolasi mandiri selama 2 hingga 4 minggu. Pengobatan bersifat simptomatik, dengan paracetamol untuk meredakan demam dan bedak untuk gatal.

Upaya Pencegahan dan Pengobatan
Dr. Syahrizal menegaskan bahwa pemberian vaksinasi tidak direkomendasikan. Untuk masyarakat umum, melainkan hanya bagi kelompok berisiko tinggi. “Vaksin Mpox direkomendasikan untuk mereka yang pernah kontak erat dengan penderita Mpox. Vaksin ini terbukti efektif hingga 86% dalam mencegah penularan, dan diberikan dalam dua dosis dengan jarak 28 hari,” katanya menambahkan.

Meskipun wabah Mpox diperkirakan tidak akan menjadi pandemi global seperti COVID-19, edukasi kepada kelompok berisiko tinggi tetap sangat penting. “Deteksi dini, kemudahan akses tes PCR, isolasi yang tepat, dan pengobatan yang efektif adalah prioritas utama dalam mengendalikan penyebaran Mpox,” kata Dr. Syahrizal.

Related Posts