GURU BESAR FHUI: ATUR PERIZINAN SEKTOR PERTAMBANGAN DI INDONESIA MELALUI KONSESI
Selama 77 tahun kemerdekaan Indonesia, kegiatan pengusahaan pertambangan di Indonesia dilaksanakan dengan berbagai nomenklatur, kecuali konsesi. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, konsesi didefinisikan sebagai Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan selain Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Meski begitu, “fobia” terhadap konsesi muncul akibat adanya politik hukum pertambangan Hindia Belanda melalui Indische Mijnwet (IMW) 1899 yang bersifat diskriminatif. Dalam aturan ini tertulis hanya orang Belanda yang dapat melakukan pengusahaan pertambangan dengan menggunakan konsesi. Ketentuan ini diubah pada 1910 dengan penambahan Pasal 5A yang membuka peluang bagi pengusaha pribumi untuk melaksanakan penambangan dengan sistem kontrak, namun muncul anggapan, pengusahaan pertambangan dapat dilakukan lewat konsesi dan kontrak keperdataan.
Menurut Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Tri Hayati, S.H., M.H., dalam orasi ilmiah berjudul “Konsesi dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara: Perizinan Sektor Pertambangan di Indonesia”, setelah kemerdekaan, pengusahaan pertambangan di Indonesia diatur melalui UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan dilaksanakan dengan menggunakan Kuasa Pertambangan (KP) dan Kontrak Karya (KK). Pada 1981 digunakan pola kontrak untuk pengusahaan batubara, menggunakan Kontrak Kerja Sama Pertambangan Batubara (KKS Batubara), digantikan dengan Perjanjian Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Pemberlakuan UU Nomor 11 Tahun 1967 berakhir setelah 42 tahun dan digantikan dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (kemudian diubah dengan UU Nomor 3/2020). Peraturan ini menganut sistem izin dalam pengusahaan pertambangan, yakni Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Dengan demikian, terdapat perubahan nomenklatur KP, serta penghapusan KK dan PKP2B.
Penerbitan izin pertambangan dikategorikan sebagai tindakan hukum administrasi negara yang bersegi satu, yakni tindakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah secara sepihak sesuai kewenangan yang dimilikinya. Sementara itu, kontrak pertambangan yang sebelumnya berlaku merupakan tindakan hukum publik bersegi dua. Artinya, terdapat persesuaian kehendak antara dua pihak berupa perjanjian yang diatur dalam hukum istimewa, yakni peraturan hukum publik yang didasarkan pada syarat dan pedoman dalam peraturan perundang-undangan pertambangan yang dibentuk oleh pejabat publik. Hal ini sering disalahartikan ketika kontrak pertambangan dianggap masuk ke dalam ranah hukum perdata.
“Mengutip pernyataan Prof. Prajudi Atmosudirjo, ten Berge, dan van Wijk, konsesi merupakan penetapan administrasi negara yang secara yuridis sangat kompleks karena merupakan seperangkat dispensasi, izin, dan lisensi, yang disertai dengan pemberian wewenang Pemerintah yang terbatas pada konsesionaris. Konsesi diberikan untuk kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan publik, yang bersifat openbaar belang, dan menyangkut dengan “pengurangan” kedaulatan atau wewenang pemerintah, salah satunya pengusahaan sumber daya alam,” kata Prof. Tri Hayati.
Namun demikian, Prof. Tri Hayati menyebutkan ada perbedaan pendapat dari tiga sarjana tersebut terkait bentuk konsesi. Prof. Prajudi menyatakan bahwa konsesi masuk dalam rezim perizinan yang bersifat spesifik karena tidak cukup dengan izin publik biasa (vergunning). Sementara itu, ten Berge dan van Wijk menyatakan bahwa konsesi terdiri atas persetujuan (izin publik) serta pembatasan hak dan kewajiban pemegang konsesi yang kadang dituangkan dalam bentuk kontrak (publik). Oleh karena itu, muncul pendapat bahwa konsesi adalah izin konsesi atau kontrak konsesi, sehingga menimbulkan ketidakjelasan terminologi.
Pada masa Hindia Belanda, pengusahaan pertambangan berdasarkan IMW 1899 menggunakan konsesi dan kontrak (kontrak 5A) yang harus disetujui oleh Voolksraad dalam bentuk undang-undang. Hal yang sama ditemukan dalam KP, KK, atau PKP2B. Terdapat petunjuk khusus, pembatasan hak dan kewajiban, serta membutuhkan konsultasi dengan DPR dan pengesahan Pemerintah.
Kontrak di sini juga bukan kontrak perdata biasa karena pengusahaannya membutuhkan persetujuan rakyat melalui wakilnya. Ini dilakukan sehubungan dengan adanya kepemilikan publik atas sumber daya alam pertambangan yang kemudian melahirkan hak menguasai negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa sistem yang digunakan pada dasarnya adalah konsesi.
Walaupun menggunakan nomenklatur izin, UU Nomor 4 Tahun 2009 dan UU Nomor 3 Tahun 2020 juga menganut konsesi. Hal ini karena pelaksanaan pengusahaan pertambangan harus berada dalam pengawasan Pemerintah untuk memastikan hak dan kewajiban perusahaan yang tercantum dalam IUP, IUPK, dan IPR telah dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian, jelas bahwa izin pertambangan yang dianut oleh UU Nomor 4 Tahun 2009 dan UU Nomor 3 Tahun 2020 pada dasarnya merupakan konsesi, bukan izin publik biasa (vergunning), dan nomenklatur ini dapat digunakan dalam politik hukum pertambangan di Indonesia.
Prof. Dr. Tri Hayati, S.H., M.H. dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, pada Rabu (21/12), melalui sidang terbuka dipimpin Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D., di Depok. Hadir dalam pengukuhan tersebut, Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, S.H., M.H.; Hakim Agung Mahkamah Agung RI, Dr. Cerah Bangun, S.H., M.H.