Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada 6–15 September 2023 telah mengubah hamparan padang savana di kawasan Gunung Bromo menjadi lautan abu. Kebakaran tersebut diketahui terjadi akibat penggunaan flare untuk keperluan foto pre-wedding yang ternyata memicu munculnya api di tengah padang savana. Akibatnya, lebih dari 500 hektare lahan vegetasi hangus, yaitu yang berada di kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), yang tersebar di empat kabupaten di Jawa Timur, yakni Malang, Probolinggo, Pasuruan, dan Lumajang.
Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Indonesia (UI), Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed. menyayangkan peristiwa kebakaran tersebut mengingat TNBTS merupakan wilayah konservasi yang masuk daftar UNESCO sebagai World Network of Biosphere Reserves. TNBTS memiliki ekosistem unik karena terdiri atas ekosistem gurun atau lautan pasir sekaligus padang savana. Pada ekosistem savana dijumpai hamparan padang rumput yang dikenal sebagai Bukit Teletubbies.
Selain savana, TNBTS juga memiliki pohon-pohon besar yang berusia ratusan tahun, seperti cemara gunung (Casuarina junghuhniana), tumbuhan konifer jamuju (Dacrycarpus imbricatus), edelweis (Leontopodium nivale), serta berbagai jenis anggrek dan rumput langka. Tumbuhan dan pepohonan yang mengelilingi TNBTS, antara lain centigi (Vaccinium varingiafolium), akasia (Acacia), cemara, dan banyak rerumputan.
Tumbuhan-tumbuhan tersebut sekaligus berfungsi sebagai habitat bagi berbagai satwa yang hidup di TNBTS. Pada kawasan ini, setidaknya terdapat 38 jenis satwa liar yang dilindungi yang mencakup 24 spesies burung, 11 spesies mamalia, 1 spesies reptil, dan 2 spesies serangga. Beberapa di antaranya adalah elang jawa (Nisaetus bartelsi), macan tutul jawa (Panthera pardus melas), dan lutung jawa (Trachypithecus auratus).
Karhutla yang terjadi di kawasan Gunung Bromo dapat menimbulkan dampak jangka pendek dan panjang bagi biodiversitas di TNBTS. Dalam jangka pendek, sejumlah vegetasi endemik hangus terbakar, seperti rumput malela, edelweis, hingga anggrek tosari yang merupakan spesies endemik pegunungan Jawa. Beberapa ahli berpendapat bahwa kebakaran cenderung “menyiangi” tumbuhan tertentu dan mendukung pertumbuhan tumbuhan lain, terutama rumput. Keleluasaan pertumbuhan rumput yang relatif cepat dalam jangka panjang dapat mengubah area bekas kebakaran menjadi kawasan yang didominasi rumput.
Selain itu, karhutla di kawasan Gunung Bromo juga menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan satwa. Spesies hewan yang sangat lemah untuk bergerak dan bersembunyi akan mati dilahap api. Hewan muda dan kecil sangat berisiko saat menghadapi bencana karena beberapa strategi alamiah untuk melarikan diri justru tidak berhasil. Beberapa spesies dengan lokomosi lambat memilih berdiam dan bersembunyi di pohon, namun pada akhirnya terperangkap dilahap api.
Dalam jangka panjang, bila ada spesies hewan yang mampu menghindari kobaran api, bukan tidak mungkin hewan herbivora tidak dapat bertahan disebabkan hilangnya sejumlah tumbuhan atau pohon sumber pakan. Spesies hewan karnivora yang mampu menyelamatkan diri juga belum tentu bertahan hidup jika tidak ada spesies yang dapat dimangsa.
Dr. Luthfiralda menyatakan bahwa dari berbagai laporan penelitian yang dikumpulkan, peristiwa kebakaran memicu serangkaian perubahan pada tanaman, mikroba, jamur, dan organisme lain yang mendiami hutan pascakebakaran. Tak hanya makhluk hidup, kebakaran juga berdampak pada lingkungan. Aliran air, seperti sungai, dapat mengalami perubahan bergantung pada faktor kekeruhan, kandungan kimia, dan struktur sungai. Hal tersebut akan mengakibatkan kematian spesies invertebrata air yang berpengaruh pada kehidupan hewan di darat dan selanjutnya akan berdampak pada rantai makanan.
Untuk mengembalikan fungsi lahan pascakebakaran, menurut Dr. Luthfiralda, ada beberapa langkah yang harus diambil, salah satunya adalah dengan mendata vegetasi apa saja yang terdampak serta memahami biologi spesies vegetasi maupun sifat-sifat hutan. Beberapa spesies tumbuhan memiliki biji yang gemar panas. Kebakaran kerap kali mendorong biji yang tertidur untuk bertunas. Suhu yang tinggi penting bagi perkembangbiakan banyak spesies tumbuhan yang bijinya tidak hanya bereaksi terhadap air, tetapi juga terhadap api.
Hutan yang berusia satu tahun akan memiliki kumpulan tumbuhan dan hewan yang beragam dibandingkan hutan yang berusia puluhan tahun. Di daerah tropis, wilayah yang hangus terbakar dapat memulai proses suksesi apabila datang musim penghujan. Mengutip pernyataan Patricia Kennedy, ahli biologi satwa liar dari Oregon State University, kebakaran hutan dapat berfungsi sebagai tombol ‘reset’ untuk membiarkan hutan tua terlahir kembali. Namun, proses suksesi ini sangat bergantung pada faktor biotik dan abiotik, termasuk di antaranya adalah lingkungan dan ketersediaan benih.
“Pemulihan ekosistem hutan pascakebakaran bergantung pada lanskap, tingkat kerusakan, dan spesies yang terdapat di dalamnya. Campur tangan manusia dalam proses pemulihan amat dibutuhkan agar proses pemulihan dapat berjalan lebih cepat. Telah banyak ahli mengadakan penelitian mengenai pemulihan kembali lahan akibat kebakaran. Mereka berpendapat bahwa butuh waktu cukup lama sampai puluhan tahun untuk mengembalikan lingkungan ke kondisi sedia kala,” ujar Dr. Luthfiralda.