iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

DGB Kaji Implementasi Ekosistem Darat dalam Pembangunan IKN

Depok, 29 November 2024. Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Indonesia (UI) melalui Komite 4, yakni Pengembangan Peran Universitas Indonesia di Masyarakat, mengadakan seminar bertajuk “Harmoni dengan Alam: Implementasi Ekosistem Darat di Ibu Kota Nusantara” yang dilaksanakan di Gedung Pusat Administrasi Universitas, Kampus UI Depok. Pada acara tersebut hadir para pakar yang mengulas strategi implementasi ekosistem darat agar pembangungan IKN dapat menjadi katalis bagi perlindungan lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.

Ketua DGB UI, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D—dalam sambutan yang dibacakan oleh Sekretaris DGB UI, Prof. Dr. drg. Indang Trihandini, M.Kes.—mengatakan bahwa implementasi ekosistem darat di IKN merupakan langkah penting untuk menuju harmoni antara pembangunan dan pelestarian alam. Pendekatan ini selaras dengan tujuan global, Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan ke-15, yakni melindungi, memulihkan, dan mendukung keberlanjutan ekosistem darat.

“Pembangunan IKN di Kalimantan Timur berupaya mengintegrasikan konsep keberkelanjutan dengan melestarikan ekosistem darat. Pembangunan ini juga menawarkan penerapan praktik pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan ekosistem lokal dan kesejahteraan masyarakat setempat. Untuk itu, integrasi nilai-nilai budaya masyarakat dalam proyek pembangunan penting dilakukan untuk memastikan bahwa solusi yang diterapkan bersifat inklusif, berkelanjutan, dan bermanfaat bagi semua pihak,” ujar Prof. Harkristuti melalui Prof. Indang.

Menurut Deputi Bidang Transformasi Hijau dan Digital Otorita Ibu Kota Nusantara, Prof. Ir. Mohammed Ali Berawi, M.Eng.Sc, Ph.D, dalam keynote speech-nya, dari seluruh total area IKN, luas daratan IKN mencapai 252.660 hektare. Area ini nantinya akan dikembangkan menjadi tiga kawasan, yakni kawasan hijau dan produksi pangan (10%), area perkotaan (25%), serta hutan tropis melalui proses reforestasi (65%). Pengembangan kota ini akan dilaksanakan berdasarkan lima prinsip utama, yakni hijau, berketahanan, berkelanjutan, inklusif, dan cerdas.

“IKN harus menjadi kota yang hijau, berketahanan, dan berkelanjutan. Disebut hijau karena 75% area digunakan untuk hutan dan kawasan hijau. Sementara, berketahanan artinya kita membangun kota ini dengan konsep sponge city, yakni perencanaan perkotaan yang berkelanjutan untuk mengelola air hujan secara efektif. IKN juga merupakan kota inklusif dan modern. Kita melibatkan the large scales investor sampai pemberdayaan UMKM, dan memberikan pelatihan teknologi bagi para ibu dan difabel,” ujar Prof. Ali Berawi.

Seminar yang berlangsung pada Selasa (19/11) itu dimoderatori oleh Prof. Dr-Ing. Nandy Setiadi Djaya Putra menghadirkan empat narasumber utama, yakni Guru Besar Biologi Konservasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI, Prof. Jatna Supriatna; Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto; Country Director at Wildlife Conservation Society (WCS), Dr. Noviar Andayani; dan Head of External Affairs APRIL, Nyoman Iswarayoga.

Dalam pemaparan terkait isu lingkungan, Prof. Jatna menyebut bahwa pembangunan IKN membutuhkan kolaborasi berbagai bidang keilmuan untuk menghasilkan skenario perencanaan tata ruang yang tepat. Hal ini karena IKN dibangun di Pulau Kalimantan yang memiliki area hutan yang luas dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Berbagai spesies hewan hidup di hutan tersebut, bahkan spesies yang hampir punah.

Oleh karena itu, Prof. Jatna menyarankan dibangunnya koridor satwa liar sebagai alternatif dalam mengelola spesies dengan kawasan jelajah yang luas. “Koridor dibangun agar spesies-spesies dapat bergerak leluasa sehingga tidak mengalami stres. Dengan adanya koridor ini, populasi-populasi hewan yang terpisah karena fragmentasi habitat di kota dapat terhubung kembali,” ujar Prof. Jatna.

Sejalan dengan Prof. Jatna, Dr. Noviar dari WCS juga menekankan pentingnya pembangunan koridor sebagai upaya untuk membatasi terbukanya antarmuka manusia dengan satwa. Ia merekomendasikan konsep One Health—yang dapat mengidentifikasi di mana dan bagaimana risiko kesehatan dapat muncul sebagai respons yang strategis untuk membangun narasi bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan atau kawasan konservasi tentang pentingnya menjaga lingkungan dan ekosistem yang sehat bagi keberlanjutan ekonomi, sosial, budaya, dan kesehatan.

“Sebanyak 60,3% penyakit infeksius merupakan zoonosis dan penularannya dipicu oleh semakin terbukanya antarmuka manusia dengan satwa. Karena itu, saya berharap pendekatan atau frame work one health bisa menjadi salah satu acuan dalam membangun infrastruktur, baik infrastruktur fisik, sosial, ekonomi, maupun budaya untuk IKN. Pembangunan koridor dapat menjadi strategi untuk memastikan agar pembangunan infrastruktur IKN tetap memperhatikan biodiversitas,” kata Dr. Noviar.

Related Posts