Salemba, 14 Desember 2024. Prof. Dr. dr. Dita Aditianingsih, Sp.An-TI., Subsp.T.I.(K) bersama Prof. Dr. dr. Anna Rozaliyani, M.Biomed, Sp.P(K) dan Prof. Dra. Beti Ernawati Dewi Ph.D, dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI). Pengukuhan yang dipimpin oleh Ketua Dewan Guru Besar UI, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D, dilaksanakan pada Sabtu (14/12), di Aula IMERI FKUI Salemba, Jakarta.
Prof. Dita diumumkan sebagai guru besar ke-43 yang dikukuhkan tahun ini dari total 468 guru besar. Ia merupakan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Critical Care. Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Kedokteran Critical Care di Era Kedokteran Presisi: Menyeimbangkan Kemajuan Teknologi dan Keterbatasan Sumber Daya”, ia mengulas berbagai tantangan yang dihadapi Unit Perawatan Intensif (ICU) dan langkah yang dilakukan agar kualitas dan akses layanan ICU di Indonesia mendekati standar layanan negara maju dan menjadi model pengembangan ICU di kawasan Asia Tenggara.
ICU adalah bagian penting rumah sakit yang menyediakan perawatan intensif bagi pasien kritis. ICU dirancang dengan staf medis dan paramedis berkeahlian khusus dalam Kedokteran Critical Care, serta dilengkapi teknologi canggih untuk memastikan perawatan yang tepat dan efisien. Meski telah berkembang, ICU di Indonesia masih tantangan besar, di antaranya jumlah fasilitas terbatas, distribusi tidak merata, dan kurangnya tenaga medis spesialis.
“Indonesia hanya memiliki sekitar 1.910 tempat tidur ICU pada 2020, atau 2,7 tempat tidur per 100.000 penduduk, jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand dan Singapura. Keterbatasan ini diperparah dengan rasio dokter anestesi dan intensivist yang rendah, hanya 4.134 dokter anestesi dan 350 intensivist untuk populasi lebih dari 264 juta jiwa,” ujar Prof. Dita.
Menurutnya, kekurangan tersebut menyebabkan kesenjangan akses perawatan kritis, terutama di daerah terpencil, sehingga banyak pasien yang tidak memperoleh perawatan tepat waktu. Karena itu, pengembangan ICU di Indonesia membutuhkan pendekatan strategis untuk meningkatkan infrastruktur, distribusi, dan pelatihan tenaga medis. Fokus utama yang dapat dilakukan adalah meningkatkan aksesibilitas di daerah terpencil melalui teknologi dan program pelatihan intensif, serta mengumpulkan data akurat mengenai jumlah dan distribusi fasilitas ICU.
Selain itu, Prof. Dita merekomendasikan penerapan kedokteran presisi di ICU karena dapat meningkatkan efektivitas perawatan. Pendekatan ini didasarkan pada genetik, lingkungan, dan gaya hidup pasien, serta memanfaatkan teknologi mutakhir, seperti sekuensing DNA, analisis biomarker, dan profil multigenomik. Namun, penerapan kedokteran presisi di ICU memerlukan infrastruktur laboratorium, alat bioinformatika, dan tenaga ahli yang mumpuni.
Kedokteran presisi dapat diadaptasi dengan pendekatan sederhana seperti pengujian biomarker dasar atau teknologi portabel seperti point-of-care testing (POCT) untuk deteksi cepat infeksi dan kondisi kritis lainnya. Pemanfaatan catatan kesehatan elektronik (EHR) dan algoritma machine learning dapat meningkatkan pengambilan keputusan berbasis data dengan biaya yang lebih rendah. Selain itu, kolaborasi dengan institusi akademis dan organisasi internasional dapat membantu menyediakan pelatihan dan sumber daya untuk mendukung implementasi.
Prof. Dita menilai bahwa penerapan pengobatan presisi di lingkungan ICU dengan sumber daya terbatas memerlukan pendekatan yang realistis dan hemat biaya. Strategi bertahap, seperti fokus pada manajemen infeksi, sepsis, pemodelan prediktif dan machine learning dapat berdampak signifikan tanpa membebani infrastruktur. Selain itu, humanisasi layanan ICU tetap menjadi prioritas dengan melibatkan keluarga, pemuka agama, dan konselor untuk mendukung pemulihan pasien secara holistik.
“Pengobatan presisi di ICU menjadi tantangan sekaligus peluang. Pendekatan ini menawarkan pengobatan yang terarah, tetapi memerlukan sumber daya dan waktu yang besar. Oleh karena itu, telemedisin membantu mengatasi kendala ini dengan memungkinkan analisis data pasien secara cepat dan mendukung keputusan klinis tanpa bergantung pada SDM spesialis dalam jumlah besar. Melalui strategi hemat biaya dan berdampak tinggi, kedokteran presisi bisa meningkatkan kualitas perawatan ICU di Indonesia, bahkan dalam kondisi keterbatasan sumber daya,” kata Prof. Dita.
Selain meneliti topik penerapan kedokteran presisi di ICU, Prof. Dita juga melakukan penelitian serupa. Beberapa di antaranya adalah Internal Jugular Distensibility Index as A Predictor of Fluid Responsiveness in Adult Patients Undergoing Elective Surgery–A Prospective Accuracy Study (2024), Prone Versus Supine Position in Intubated Covid-19 Patients with ARDS: A Systematic Review and Meta-Analysis (2023), dan Effectiveness and Safety Profile of Mesenchymal Stem Cell Secretome as A Treatment for Severe Cases of Covid-19: A Randomized Controlled Trial (2022).
Sebelum memperoleh gelar guru besarnya, Prof. Dita menamatkan pendidikan di FKUI untuk Program Kedokteran Umum tahun 1998, Program Spesialis Anestesiologi pada 2006, Program Subspesialis Terapi Intensif tahun 2011, dan Program Doktor Ilmu Kedokteran pada 2019. Saat ini, ia menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Subspesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI dan Kepala Instalasi Perawatan Intensif dan Luka Bakar Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.