Depok, 23 April 2025. Di Indonesia meski prevalensi maloklusi cukup tinggi namun masih dijumpai rendahnya angka perawatan gigi pada masyarakat yang kemungkinan dipengaruhi oleh faktor demografi, sosio-ekonomi. Masyarakat bergantung pada kemampuan untuk membayar dibanding kebutuhan akan perawatan. Kebutuhan perawatan ortodonti secara subjektif dipengaruhi antara lain faktor usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan terkait estetika dental, tingkat sosialisasi, kebudayaan dan kondisi psikologis.
Maloklusi merupakan faktor yang berperan dalam persepsi kecerdasan dan daya tarik seseorang oleh lingkungan sosial. Anak atau remaja dengan susunan gigi depan yang rapih mendapatkan kesan pertama sebagai anak yang bahagia, jujur dan lebih cerdas dibanding anak-anak dengan gigi berjejal maupun gigi maju. Kondisi maloklusi pada remaja menimbulkan dampak psikososial yang berpengaruh pada kualitas hidup-nya seiring dengan tingkat keparahan maloklusi. Studi oleh Olsen et al (2011) yang menilai perbedaan persepsi terhadap maloklusi menemukan bahwa maloklusi secara signifikan memengaruhi persepsi daya tarik, kecerdasan, kepribadian dan perilaku.
Setiap orang tentu berharap memiliki gigi yang tersusun rapi dan harmonis dalam lengkungannya dengan fungsi yang baik, sehingga disebut dengan kondisi oklusi normal. Di sisi lain jika terdapat penyimpangan oklusi, dikenal dengan istilah maloklusi yang memberikan dampak negatif bagi tumbuh kembang dan penampilan wajah seseorang serta rasa percaya diri menurun. Individu dengan Maloklusi sering mengalami masalah terkait fungsi kunyah, fungsi penelanan, fungsi bicara hingga gangguan sendi rahang, rentan terjadi gigi berlubang, penyakit periodontal maupun trauma.
Kondisi maloklusi dapat memengaruhi kehidupan sosial individu sehingga problem psikososial ini sering menjadi alasan bagi seseorang untuk memperoleh perawatan ortodonti. Perawatan Ortodonti merupakan tindakan kedokteran gigi yang terkait dengan upaya untuk memperbaiki susunan gigi-geligi maupun rahang.
Analisis hasil penelitian ini disampaikan oleh Guru Besar Departemen Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (FKGUI), Prof. Dr. drg. Krisnawati, Sp.Ort(K) saat pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Universitas Indonesia yang berlangsung di Makara Art Center (MAC) UI, pada Rabu, 23 April 2025, yang dipimpin langsung oleh Rektor UI, Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU.
Dalam pidatonya tersebut, Prof. Krisnawati menyebutkan bahwa hasil studi yang dilakukan di RSKGM – FKGUI menggunakan Kuesioner Adaptasi Lintas Budaya kuesioner ACTA yang telah diolah melalui Principal Component Analysis (PCA) diperoleh 5 domain dan 34 pertanyaan yang valid dan reliabel. Alat Ukur Kepuasan pasien diterapkan pada pada 137 orang responden yang memenuhi kriteria inklusi terdiri atas 113 wanita dan 24 pria, Rentang usia 15 tahun – 43 tahun. Hasilnya ditemukan sebanyak 87,59% responden merasa puas atas perawatan ortodonti yang dijalaninya di klinik Ortodonti RSKGM FKG UI Responden berusia < 19 tahun. memberi skor yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia dewasa.
Pasien remaja akan mengenali dirinya berdasarkan apa yang dilihatnya dan dikenal sebagai self image.
Self image adalah faktor yang dapat mengembangkan rasa percaya diri atau self-esteem. Pasien dewasa pengetahuan, wawasan dan kehidupan sosialnya sudah lebih berkembang dibanding pasien remaja. Oleh karenanya, pasien dewasa tidak mudah puas dan harapan akan hasil perawatan lebih tinggi dibanding pasien yang lebih muda karena hal tersebut berperan untuk menunjang kesuksesan dalam karier. Responden dengan pendidikan >S1 dan S2 memberi skor kepuasan perawatan yang lebih tinggi terutama untuk domain komunikasi dokter-pasien. Hal ini selaras dengan studi oleh Sirin yang menemukan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka terdapat motivasi yang kuat untuk memperbaiki penampilan antara lain melalui perbaikan susunan gigi secara ortodonti.
Ketua Program Studi Sp-1 Ortodonti FKG UI ini juga menekankan bahwa sebagian besar pasien yang mencari perawatan ortodonti adalah wanita dan mereka lebih memperhatikan penampilan sehingga tuntutan kepuasan dan keberhasilannya tinggi. Studi oleh Feldmann tidak menemukan korelasi yang bermakna antara gender dan hasil perawatan. Meski pria dan wanita berkonsultasi untuk masalah kelainan gigi wajah, namun ekspektasinya berbeda. Motivasi pria cenderung untuk meningkatkan jati diri dalam pergaulan sosial sedangkan wanita lebih cenderung untuk penampilan. Menyikapi perubahan pola pikir dan persepsi masyarakat Indonesia belakangan ini, maka dirasakan perlu untuk melibatkan faktor psikososial dalam menangani kasus maloklusi bagi pasien ortodonti. Riset transdisciplinary perlu dikembangkan dengan melibatkan para pakar dari berbagai keilmuan terkait.
Sasaran akhir pelayanan kesehatan gigi adalah memberikan kepuasan bagi pasien atas perawatan gigi yang diperoleh. Masalah dentofacial akan memberi dampak kepuasan bagi seseorang karena menyangkut estetika, penampilan dan fungsi. Seseorang dapat merasa tidak puas dengan penampilan dirinya karena tidak puas dengan kondisi giginya. Penelitian tentang kepuasan pasien terhadap layanan kesehatan gigi telah ada semenjak tahun 1970-an yang mengukur lima aspek yaitu: 1. Kompetensi; 2. Faktor interpersonal; 3. Kenyamanan; 4. Biaya dan 5. Fasilitas. Penelitian kepuasan pasien pasca perawatan ortodonti telah dilakukan di manca negara antara lain Belanda, Finlandia, Swedia, Brasil dan lain-lain.
Kepuasan pasien terhadap perawatan Ortodonti berkisar 34% – 75 %. Sebagian besar pasien yang mencari perawatan ortodonti adalah wanita dan mereka lebih memperhatikan penampilan sehingga tuntutan kepuasan dan keberhasilannya tinggi. Studi oleh Feldmann tidak menemukan korelasi yang bermakna antara gender dan hasil perawatan. Meski pria dan wanita berkonsultasi untuk masalah kelainan gigi wajah, namun ekspektasinya berbeda