Depok, 4 Juli 2023. Selama ini, jahe dikenal sebagai tanaman obat yang memiliki keunggulan sebagai antioksidan, antiinflamasi, antiobesitas, antidiabetes, antimikroba, antikanker, neuroproteksi, proteksi kardiovaskuler, dan proteksi terhadap gangguan saluran napas. Melihat manfaat ini, mahasiswa Program Doktor Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dr. Shirly Gunawan, Sp.FK, mengembangkan penelitian mengenai efek kandungan senyawa pada jahe sebagai bahan alam dalam pengobatan Sindrom Metabolik (MetS).
MetS merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang berkaitan erat dengan peningkatan risiko penyakit jantung dan diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Seseorang dikatakan menderita MetS apabila mengalami sedikitnya tiga dari lima kondisi, yaitu tekanan darah tinggi (hipertensi), abnormalitas kadar lemak dalam darah (dislipidemia), kadar trigliserida tinggi (hipertrigliseridemia), kadar gula darah tinggi (hiperglikemia), dan obesitas dengan penumpukan lemak di perut.
Menurut dr. Shirly, prevalensi MetS secara global kian meningkat. Berdasarkan data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES), dari 35% populasi dewasa di Amerika Serikat, sebanyak 50–60% mengalami MetS. Di Cina, MetS dialami oleh sekitar 58,1% dari populasi berusia >60 tahun. Sementara itu, di Indonesia, prevalensi MetS mencapai angka 23%. Sayangnya, tingginya angka prevalensi MetS tidak diimbangi dengan pengobatan yang adekuat.
“Hingga saat ini, belum ada obat tunggal untuk mengatasi MetS. Pada umumnya, pasien dengan MetS mendapat pengobatan yang bersifat polifarmasi (penggunaan beberapa obat secara bersamaan) sehingga memengaruhi kepatuhan (compliance) pasien dalam berobat. Hal inilah yang kemudian mendorong kami untuk menganalisis efek modulasi salah satu senyawa aktif yang terkandung dalam jahe, yaitu 6-gingerol, terhadap MetS dengan fokus pada jalur endoplasmic reticulum stress atau ER stress,” ujar dr. Shirly dalam sidang promosi doktornya, pada Rabu (14/6), di Ruang Teaching Theatre Lt. 6, Gedung IMERI, FKUI Salemba.
dr. Shirly menilai jalur ER stress berperan penting terhadap terjadinya MetS. ER stress adalah kondisi akumulasi unfolded atau misfolded protein pada lumen retikulum endoplasma (RE). Kondisi ini akan mengaktivasi jalur sinyal Unfolded Protein Response (UPR) dengan target utama pada organ hati, jaringan lemak, usus, dan otot rangka. UPR mampu meredakan ER stress, menjaga keseimbangan RE, serta meningkatkan kemampuan adaptasi dan daya tahan sel. Apabila sel dapat menghadapi ER stress, ia akan bertahan hidup. Sebaliknya, jika sel tidak mampu mengatasi ER stress, akan terjadi disfungsi dan kematian sel, sehingga terjadi kelainan metabolik, seperti DMT2, dislipidemia, dan obesitas.
Dengan menggunakan model tikus jantan Sprague-Dawley, dr. Shirly melakukan pemberian 6-gingerol pada 5 kelompok tikus selama 8 minggu. Pemberian 6-gingerol dosis 100–200 mg/kg/hari menunjukkan adanya kemampuan modulasi jalur ER stress pada model tikus MetS. Senyawa ini dapat mengurangi berat badan, menurunkan kadar gula darah puasa, dan memperbaiki resistensi insulin. Dengan demikian, 6-gingerol berpotensi menjadi kandidat obat baru untuk kelainan metabolik.
Penelitian yang ditulis dalam disertasi berjudul “Efek Modulasi 6-gingerol pada Model Tikus Sindrom Metabolik: Fokus pada Jalur Endoplasmic Reticulum Stress” ini membawa dr. Shirly meraih gelar doktor dalam bidang Ilmu Biomedik di FKUI dengan IPK cumlaude 3,99. Prof. Dr. dr. Frans Ferdinal, M.S. selaku kopromotor berharap hasil penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya, khususnya terkait uji klinis 6-gingerol sebagai kandungan obat pada sindrom metabolik. Penelitian ini akan bermanfaat untuk mengurangi polifarmasi dan meningkatkan kepatuhan pasien dengan sindrom tersebut.