Depok, 12 April 2023. Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K), mengatakan bahwa deteksi dini gejala autisme pada anak merupakan hal penting. Deteksi dini ini bertujuan untuk menghindari keterlambatan dalam diagnosis dan intervensi autisme.
Berdasarkan rekomendasi American Academy of Pediatric, deteksi dini autisme pada anak dapat dilakukan mulai usia 18 dan 24 bulan. Anak dengan gangguan spektrum autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan dan perilaku anak yang ditandai dengan terganggunya kemampuan komunikasi, interaksi sosial, serta perilaku berulang atau repetitif tanpa tujuan.
Autisme termasuk suatu spektrum gejala yang berarti bahwa gejalanya sangat bervariasi mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat. Lebih lanjut, Prof. Rini mengatakan bahwa orang tua harus mulai waspada ketika terdapat perilaku yang tidak biasa atau “aneh” pada anak. Hal ini bisa menandakan adanya gangguan perkembangan anak yang mungkin dapat mengarah ke gejala autisme.
“Tanda-tanda autisme yang dapat diperhatikan oleh orang tua, seperti ketika anak sudah berusia 9 bulan namun tidak ada reaksi saat namanya dipanggil atau tidak ada ketertarikan saat diperlihatkan mainan. Pada anak usia 12 bulan, ia menghindari kontak mata atau terlambat bicara, belum dapat menunjuk, lalu saat anak usia 16 bulan selalu mengulang-ngulang satu kata atau tertarik dan terobsesi berlebih terhadap benda atau aktivitas. Pada usia 24 bulan anak belum dapat mengerti instruksi yang diberikan dan belum ada kata-kata yang diucapkan dengan jelas dan benar,” ujar Prof. Rini.
Sesuai definisinya, anak autisme juga tidak suka berinteraksi dengan anak lain atau menunjukkan reaksi yang tidak biasa terhadap suara, bau, rasa, serta penglihatan, dan perabaan. Selain mengenali gejala dan tanda autisme, terdapat perangkat deteksi yang dapat digunakan oleh orang tua, seperti kuesioner Modified Checklist for Autism in Toddlers-R/F dan beberapa perangkat deteksi lainnya. Deteksi dini oleh orangtua secara menyeluruh terhadap perkembangan anak, dapat menggunakan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dan dapat diunduh pada laman https://promkes.kemkes.go.id/buku-kia-kesehatan-ibu-dan-anak.
“Dengan deteksi yang lebih cepat, anak dengan autisme dapat dilakukan intervensi dini agar performa di masa depannya dapat lebih baik,” kata Prof. Rini. Ia menambahkan, intervensi yang lebih awal dan tepat pada anak dengan autisme ini akan memberikan lebih banyak waktu dan kesempatan kepada anak. Intervensi tersebut bertujuan memperbaiki kemampuan komunikasi, kemampuan adaptif, dan perilaku anak.
Prof. Rini menyampaikan bahwa terdapat berbagai terapi yang bisa diberikan, dimulai dari terapi sensori integrasi, terapi okupasi, terapi wicara, terapi perilaku, dan aquatic therapy. “Peran orang tua dalam penanganan anak autisme ini sangat penting. Orang tua dapat menemani dan memastikan interaksi aktif antara anak dan orang tua, memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan berbagai hal, mengurangi waktu screen time pada anak, menyediakan waktu untuk mengantar dan mendampingi anak terapi, mendukung keterampilan perkembangan anak, serta konsisten dan menindaklanjuti program terapi di rumah,” ujar Prof. Rini yang juga merupakan Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang Pediatri Sosial di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Lebih lanjut ia menjelaskan, pada intinya orang tua harus memperhatikan kondisi perkembangan anak. Sesuaikan kondisi perkembangan anak dengan milestone perkembangan pada anak seusianya. Apabila ada yang tidak sesuai dan mengarah ke gejala autisme, orang tua dapat segera melakukan konsultasi kepada dokter supaya diagnosis dapat segera ditegakkan dan intervensi dini dapat dilakukan. Pada taraf terapi pun, orang tua sangat berperan untuk hasil yang lebih optimal.