Depok, 3 Agustus 2023. Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D., mengukuhkan Prof. Dr. apt. Fadlina Chany Saputri, M.Si. sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Farmakologi Kardiovaskuler, Fakultas Farmasi UI. Pada pengukuhan yang berlansung Rabu (2/8), di Balai Sidang UI Kampus Depok, Prof. Fadlina menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Pemodelan Penyakit pada Hewan Coba: Tantangan dalam Penemuan dan Pengembangan Obat, serta Penelitian Translasi sebagai Penguatan Ketahanan Bidang Kesehatan”.
Dalam pidatonya, Prof. Fadlina menyebut bahwa saat ini, pengetahuan tentang mekanisme dan jalur (pathway) terjadinya suatu penyakit makin kompleks dan komprehensif. Hal ini mendorong proses penemuan dan pengembangan obat baru melalui mekanisme dan pathway yang berbeda. Salah satu tahapan penting dalam penemuan dan pengembangan obat baru adalah tahap uji praklinis, yang bertujuan untuk mengklarifikasi cara kerja kandidat obat, menyelidiki potensi toksisitas, mengevaluasi keamanan, memvalidasi efikasi pada berbagai model in vitro dan in vivo, serta mengevaluasi formulasinya.
Menurut Prof. Fadlina, setiap obat baru yang dikembangkan harus melalui uji praklinis pada hewan coba sebelum uji klinis pada manusia. Sayangnya, sembilan dari sepuluh kandidat obat yang telah lolos uji praklinis, ternyata gagal dalam uji klinis Fase I, II, dan III. Tingkat kegagalan yang tinggi pada uji klinis ini menyebabkan investasi pengembangan obat menjadi sangat tinggi. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menyeleksi kandidat obat dengan kriteria yang ketat selama tahap praklinis pengembangan obat.
Adanya obat yang terbukti berkhasiat dan aman pada hewan coba, namun ternyata tidak berkhasiat dan aman pada manusia/pasien dapat terjadi karena faktor yang kompleks. Salah satunya adalah perbedaan genetik antara hewan coba dan manusia yang memungkinkan perbedaan mekanisme, pathway, dan perjalanan penyakit pada hewan coba dan manusia. Perbedaan tersebut memberikan tantangan pada riset translasional karena dapat menyebabkan perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian terhadap hewan coba dan penelitian terhadap manusia.
Sejumlah teknik telah dilakukan untuk mengembangkan pemodelan penyakit pada hewan coba agar lebih menyerupai pemodelan penyakit pada manusia. Pengembangan ini dilakukan melalui tiga cara, yaitu menginduksi penyakit secara farmakologi dengan menggunakan bahan kimia/agen farmakologis sebagai agen penginduksi; menginduksi penyakit dengan tindakan operasi melalui intervensi secara invasif pada organ tertentu sehingga model penyakit dapat berkembang; atau memodifikasi secara genetik (genetically modified animals) dengan menerapkan gene editing pada gen target yang dikehendaki pada sel embrio hewan, sehingga hewan model dapat terbentuk secara spontan saat hewan dilahirkan.
Ketiga model induksi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan yang akan disesuaikan dengan tujuan penelitian masing-masing. Oleh karena itu, validasi hingga ke tingkat molekuler penting dilakukan untuk memastikan terbentuknya model yang diinginkan sesuai dengan kondisi pada manusia.
“Pengujian menggunakan hewan merupakan tahapan akhir sebelum kandidat obat diujikan ke manusia. Oleh karena itu, model yang terbentuk haruslah valid dan reprodusibilitasnya tinggi. Memilih dan menggunakan model praklinis yang tepat sangat penting untuk memastikan bahwa model hewan coba yang dipilih sesuai dengan tujuan yang ingin didapatkan. Lebih jauh, penggunaan hewan model yang tepat akan meningkatkan dan memperdalam pemahaman mendasar tentang proses perjalanan penyakit, sehingga akan berkontribusi sangat signifikan dalam penemuan dan pengembangan obat, vaksin, dan antibiotik,” ujar Prof. Fadlina.
Ia menambahkan bahwa pemilihan hewan model yang tepat untuk pengujian obat kardiovaskuler adalah hal krusial, mengingat penyakit ini bisa disebabkan penyakit lain, seperti hiperlipidemia, obesitas, diabetes melitus, dan hipertensi. Penggunaan hewan model tertentu bisa jadi kurang sesuai untuk mengevaluasi kandidat obat yang bekerja melalui pathway lain. Sebagai contoh, hewan model yang digunakan untuk mengevaluasi kandidat obat antihipertensi tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi kandidat obat untuk infark miokard.
Oleh karena itu, Prof. Fadlina menekankan pentingnya pengembangan hewan model yang tepat dalam studi penemuan dan pengembangan obat serta penelitian translasi. Penggunaan hewan model yang tepat dapat mengakselerasi proses pengembangan dan penemuan obat baru, sekaligus mengeksplorasi kandidat obat dari bahan alam Indonesia. Dengan demikian, obat yang nantinya dihasilkan dapat dimanfaatkan dengan optimal untuk menjawab tantangan-tantangan masalah kesehatan dalam skala nasional dan global.
Prosesi pengukuhan Prof. Fadlina turut dihadiri oleh Rektor Universitas Bhakti Kencana, Dr. apt. Entris Sutrisno; Wakil Rektor Universitas Nurtanio Bandung, Marsma TNI (Purn) Dr. apt. Yuli Subiakto, M.Si.; Direktur Utama Rumah Sakit UI, Dr. dr. Astuti Giantini, Sp.PK(K), MPH; Ketua Badan Pengawas Obat dan Makanan Periode 2010–2011, Dra. apt. Kustantinah, M.App.Sc.; Direktur Business Development dan Portfolio Management PT Pos Indonesia, Dr. Prasabri Pesti; dan Senior Principle Expert PT Telkom Indonesia, Dr. (cand) Endang Susilowati, M.T.
Prof. Dr. apt. Fadlina Chany Saputri, M.Si. menyelesaikan pendidikan Sarjana Sains pada 2000 dan pendidikan Apoteker pada 2001 di Departemen Farmasi, FMIPA UI; pendidikan Magister Sains di Fakultas Farmasi, Institut Teknologi Bandung pada 2004; dan pendidikan Doctor in Medical Science di Fakulti Farmasi, Universiti Kebangsaan Malaysia tahun 2012. Prof. Fadlina juga menerbitkan banyak karya ilmiah, beberapa di antaranya berjudul Platelet Glycoprotein-Ib (GPIb) May Serve as a Bridge between Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) and Atherosclerosis, Making It a Potential Target for Antiplatelet Agents in T2DM Patients (2023); PCSK9 Promotes Cardiovascular Diseases: Recent Evidence about Its Association with Platelet Activation-Induced Myocardial Infarction (2023); dan Recent Update on PCSK9 and Platelet Activation Experimental Research Methods: In Vitro and In Vivo Studies (2022).