Depok, 21 Agustus 2023. Teknologi digital dan kemunculan media sosial, membawa perubahan besar pada cara hidup manusia, termasuk dalam perilaku komunikasi yang menunjukkan kerja identitas. Menurut Rony Agustino Siahaan, mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), praktik digital ibu stay-at-home menciptakan performa identitas di media sosial, seperti dalam praktik sharenting di Instagram.
Melalui penelitian berjudul “Performa Identitas Ibu Digital: Kompleksitas dan Pencapaian Peran Perempuan sebagai Ibu Stay-At-Home di Era Media Sosial”, Rony mengkaji dinamika konstruksi identitas di ruang digital terkait kompleksitas identifikasi perempuan sebagai ibu. Dalam kasus ibu kontemporer di Indonesia, praktik digital stay-at-home/Instamoms memadukan peran “domestik” tradisional perempuan dan performa “ibu yang baik” yang dimediasi untuk memenuhi karier moral ibu dan keinginan perempuan untuk meraih kesuksesan pribadi.
Praktik tersebut menunjukkan bahwa pilihan menjadi ibu stay-at-home dan upaya untuk mengejar pencapaian performa ibu digital (misalnya, influencer, pembuat konten) sama menggiurkannya dengan pekerjaan lain yang dapat dipilih perempuan. Hal ini mengembalikan rasa kemandirian dan mengompensasi pilihan mereka untuk keluar dari karier profesional.
Dari riset yang dilakukan, Rony menemukan bahwa tidak ada identitas peran perempuan yang statis, melainkan dapat berubah seiring berjalannya waktu. Praktik digital keseharian stay-at-home menciptakan usaha strategis perempuan untuk melakukan negosiasi sosial dalam performa identitas ibu yang dinamis. Di sisi lain, peran ibu tradisional tetap menjadi acuan utama, sehingga setiap ibu dapat menampilkan identitas secara berbeda.
Ibu milenial memperluas tanggung jawab mereka untuk mengejar karier dan mencari nafkah. Melalui berbagai pengaturan ekonomi, ibu menjadi subjek yang memiliki “kebebasan” untuk menampilkan identitas baru melalui berbagai usaha strategis, yang terkadang melanggar aturan dominan. Sebagai sebuah praktik, sharenting menunjukkan subversivitas performativitas dalam upaya ibu mencapai pengasuhan intensif meski mempertaruhkan keamanan dan privasi anak di ruang digital.
Namun, di luar argumen tersebut, penelitian ini menemukan bahwa ibu milenial memanfaatkan sharenting untuk merepresentasikan kembali identitas ibu kontemporer tanpa meninggalkan anak. Bagaimanapun, struktur dominan menginginkan perempuan dan anak-anak berada di ranah domestik, terlepas dari rezim neoliberal yang mendorong perempuan untuk membangun keterampilan dan pengetahuan baru, termasuk mengelola risiko. Dengan demikian, klaim-klaim membingkai sharenting sebagai sesuatu yang menyimpang dan ibu dianggap eksploitatif dan sembrono.
Di luar stereotipe tentang sharenting, temuan hasil penelitian ini menekankan keragaman identitas perempuan dalam performa ibu digital. Penelitian ini menyimpulkan bahwa praktik sharenting Instamom bukan semata-mata aktivitas komunikatif tentang pengalaman menjadi orang tua, melainkan performa identitas ibu sebagai aktor penting pengasuhan intensif dan sebagai subjek perempuan independen. Dengan demikian, performa tersebut mendefinisikan ulang identitas ibu normatif yang selama ini membatasi ekspresi perempuan.
“Sharenting bukan hanya berkonsekuensi pada banyaknya identitas anak yang tersebar luas di media sosial, melainkan juga berkembangnya diskursus media sosial yang menciptakan femininitas keibuan neoliberal untuk menggantikan mitos ibu tradisional. Dalam pemaknaan ibu kontemporer, ideologi femininitas keibuan yang baru diperlukan sebagai diskursus kuasa perempuan untuk mengimbangi struktur masyarakat dominan yang merugikan posisi dan peran perempuan sebagai ibu, baik di ranah privat maupun ruang publik,” ujar Rony.