Berkolaborasi dengan Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia (MUI UI) dan Jejaring Duniasantri, Makara Art Center (MAC) UI menggelar pameran seni dan budaya seputar dunia pesantren. Pameran yang diselenggarakan pada 22–27 Agustus 2022 ini menampilkan lukisan karya Kaisar Nuno yang menggambarkan para tokoh yang berperan dalam menggali pemahaman keagamaan yang kultural dan moderat. Beberapa tokoh tersebut, antara lain Dr. K.H. Ahmad Mustofa Bisri; Yaqut Cholil Qoumas; Said Aqil Siradj; Erick Thohir; Yenny Wahid; Mahfud MD; Deddy Corbuzier, dan sebagainya.
Selain lukisan, berbagai sarung bersejarah dari para tokoh, seperti Dr. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur); K.H. Hasjim Asyaari; K.H. Maemun Zubair (Mbah Moen); dan K.H. Hasyim Muzadi juga dipamerkan dalam acara ini. Sementara itu, di luar Gedung MAC UI, dipamerkan seni instalasi “Rumah Sarung” yang rangka rumahnya dibuat dari batang-batang bambu dengan atap dan dinding terbuat dari puluhan lembar sarung. Tidak hanya itu, pohon-pohon di sekitar Gedung MAC UI juga dibalut dengan sarung.
Menurut Kepala MAC UI, Dr. Ngatawi Al-Zastrouw, S.Ag., M.Si., tujuan penyelenggaraan pameran ini adalah untuk menyosialisasikan narasi keberagamaan yang toleran, moderat, inklusif. Potensi dunia santri sangat strategis untuk disosialisasikan dalam rangka membangun pemikiran yang moderat. Selain itu, kegiatan ini juga diharapkan dapat menggali tradisi karena kain sarung merupakan simbol tradisi masyarakat Nusantara. Kain sarung yang dahulu hanya diidentikkan dengan pesantren, kini justru digunakan oleh banyak designer untuk membuat berbagai karya.
“Kami mengambil filosofi sarung, yaitu moderat, terbuka, demokratis, dan ekonomis. Moderat karena semua orang bisa memakainya, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin. Artinya, tidak mengenal gender dan kelas. Terbuka, karena sarung mudah dipakai. Sementara itu, disebut demokratis karena sarung merupakan pakaian yang memiliki nilai publik karena dapat dipinjamkan kepada siapa pun. Terakhir, ekonomis dan praktis. Sarung berharga murah dan mudah didapat. Filosofi sarung ini menggambarkan apa yang ingin digali saat ini, bahwa kita membutuhkan kehidupan yang terbuka, egaliter, dan moderat,” kata Dr. Zastrouw.
Pada puncak acara, Sabtu (27/8), akan ada penampilan “Monolog Negeri Sarung” dari Inayah Wulandari Wahid yang merupakan putri bungsu dari Presiden Keempat Indonesia, Dr. K.H. Abdurrahman Wahid. Dalam monolog ini, Inaya Wahid akan memerankan karakter mbok-mbok bakul sarung yang seharihari menjajakan dagangannya keluar masuk pondok-pondok pesantren, lengkap dengan problematikanya.
“Monolog Negeri Sarung” dibagi dalam tiga babak. Setiap babak selingi dengan “Tawashow”, yaitu stand up comedy pesantren yang namanya diambil dari kata dalam bahasa Arab yang berarti ‘menasihati’ dan dalam bahasa Inggris yang berarti ‘pertunjukan tawa’. “Tawashow” ini akan menampilkan sekaligus mengeksplorasi candaan khas pesantren.
Sebelum pertunjukan “Monolog Negeri Sarung”, di panggung yang sama akan ada Sekapur Sirih Kebudayaan Santri dari Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dr. (HC). H. Rachmad Gobel. Sambutan ini sekaligus apresiasi terhadap para santri, khususnya kepada Jejaring Duniasantri yang tengah merayakan hari jadinya yang ke-3.
Jejaring Duniasantri merupakan komunitas yang memberikan literasi kepada santri, terutama di dunia tulis-menulis sastra untuk menyebarkan narasi dan wacana toleransi, inklusifitas agama, dan moderasi.
Komunitas ini dibentuk karena santri memiliki peran dan potensi yang luar biasa bagi negeri ini. Mereka memiliki potensi narasi karena santri menguasai wacana keagamaan yang moderat dan toleran. Santri juga memiliki potensi skill berupa kemampuan menulis yang bagus sehingga tulisan yang dimuat di website Jejaring Duniasantri rata-rata memiliki viewers 3.000/hari yang dibaca oleh orang di 104 negara.
“Dengan adanya acara ini, kami berharap mahasiswa selaku generasi muda dapat memahami dan menghayati makna-makna tradisi yang ada di Nusantara, terutama tradisi pesantren dan tradisi keagamaan yang moderat. Selain itu, koneksitas antara kampus sebagai mayarakat akademis dan dunia pesantren sebagai masyarakat religius kultural diharapkan dapat tumbuh sehingga terjalin sinergitas dan saling memahami di antara keduanya. Kami tidak ingin sekadar membuat event, tetapi mampu menciptakan gerakan dari event ini,” kata Dr. Zastrouw yang juga merupakan Ketua Dewan Pembina Jejaring Duniasantri.