Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) angkatan tahun 2020, Rudi Pradisetia Sudirdja, berhasil menorehkan prestasi sebagai Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2021. Lomba tersebut diselenggarakan oleh Kejaksaan RI dalam rangka memperingati Hari Bakti Adhyaksa ke-61 Tahun 2021.
Pada lomba yang diikuti oleh para jaksa dan pegawai kejaksaan dari berbagai satuan kerja di seluruh Indonesia, baik Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, maupun Kejaksaan Agung, setiap peserta diharuskan membuat karya tulis dengan topik tentang “Membangun Integritas Penegak Hukum Demi Tercapainya Kejaksaan Maju Berwibawa Sebagai Wujud Membangun Bangsa”. Penilaian karya tulis dilakukan oleh dewan juri secara objektif, transparan, dan akuntabel dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung. Pemaparan para finalis dapat disaksikan oleh masyarakat umum melalui kanal Youtube Kejaksaan RI.
Dalam karya tulis berjudul “Integritas dan Profesi Jaksa dalam Perspektif Hukum Internasional (Mencegah Korupsi di Lingkungan Kejaksaan RI)”, Rudi menggagas langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Kejaksaan untuk mencegah korupsi oleh oknum Jaksa dalam pelaksanaan tugas dan wewenang. “Membangun sistem pencegahan korupsi oleh aparat penegak hukum merupakan amanat United Nations Convention against Corruption, yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006,” kata Rudi. Pengumuman hasil pemenang kompetisi yang diikutinya itu diselenggarakan pada 22 Juli 2021.
“Pasal 7 UNCAC menyebutkan bahwa Negara pihak harus mengambil langkah-langkah untuk memperkuat integritas untuk mencegah korupsi di lingkungan anggota peradilan (termasuk jaksa). Belum lagi berbagai instrumen internasional telah ditetapkan oleh International Association of Prosecutors yang menekankan pentingnya jaksa menjaga integritas khususnya menjauhkan diri dari perilaku koruptif,” ujar Rudi yang saat ini bertugas sebagai Jaksa Fungsional pada Asisten Khusus Jaksa Agung, dan juga sedang ditugaskan di Komisi Kejaksaan.
Untuk meningkatkan integritas, Rudi mengusulkan tiga hal. Pertama, Kejaksaan harus menetapkan secara resmi “Tokoh Integritas Nasional Kejaksaan”. Menurutnya, penetapan tokoh ini penting karena dalam ilmu psikologi pada hakikatnya manusia butuh figur panutan. Oleh karenanya, untuk mencegah peniruan terhadap perilaku koruptif, perlu ditebarkan nilai-nilai positif dari tokoh-tokoh berintegritas kepada segenap insan Adhyaksa. “Baharuddin Lopa adalah figur yang layak untuk ditetapkan sebagai tokoh integritas nasional tersebut. Lopa adalah sosok jaksa yang memberikan teladan integritas sesungguhnya. Harapannya kisah-kisah baik Lopa turut dijadikan satu Mata Diklat khusus dalam Pelatihan dan Pembentukan Jaksa,” kata Rudi.
Kedua, perlu didorong penguatan independensi dan akuntabilitas dari personal Jaksa. Menurutnya, Jaksa harus diperkenankan membuat pendapat berbeda (dissenting opinion) maupun alasan berbeda (concurring opinion) dalam penentuan pasal maupun penentuan besaran tuntutan pidana, apabila ada jaksa yang berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas dalam sebuah Tim. Pendapat berbeda itu memang tidak masuk dalam dokumen persidangan, karena jaksa terikat oleh asas Jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan (een on deelbaar).
Setidaknya, pendapat berbeda itu dapat dicatatkan dalam dokumen-dokumen penanganan perkara yang berlaku secara internal di kejaksaan. Pendapat berbeda itu dapat melindungi jaksa yang berintegritas, manakala di kemudian hari ternyata terjadi praktik korupsi dalam penanganan suatu kasus. Jaksa yang baik tentu harus dibebaskan dari tanggung jawab menanggung dosa yang dilakukan oleh jaksa yang tidak baik, walaupun mereka ada dalam satu tim yang sama. Menurut Rudi, pendapat berbeda itu nantinya dapat menjadi bahan penilaian dari pimpinan bahwa jaksa tersebut tidak terlibat dalam praktik tercela.
Ketiga, institusi harus memberikan perlindungan terhadap jaksa-jaksa yang berintegritas. Kejaksaan sebenarnya telah memperkenankan para Jaksa untuk menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum. Ketentuan itu secara tegas dirumuskan dalam Pasal 8 ayat (2) Kode Perilaku Jaksa.
Aturan itu pun mengamanatkan bahwa kepada Jaksa yang menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum diberikan perlindungan hukum. “Namun, bentuk perlindungan hukum yang bagaimana belum dijelaskan oleh Kode Perilaku tersebut. Oleh karenanya, perlu disusun mekanisme perlindungan hukum yang jelas guna memberikan perlindungan bagi jaksa-jaksa yang ingin tegak lurus memengang integritas, tanpa takut mendapat ancaman atau intimidasi,” ujar Rudi.