id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Melawan Ketertutupan Informasi Anggaran Publik

Diskursus tentang transparansi penyelenggaraan pemerintahan, khususnya keuangan publik, pada era keterbukaan informasi seperti sekarang seharusnya sudah tidak terlalu mengganggu.

Apalagi jika sampai menimbulkan sikap antipati terhadap orang-orang yang membuka diskursus itu di ruang publik.

Keterbukaan informasi adalah bagian tak terpisahkan dari prinsip transparansi yang dianut pemerintahan demokratis dan menjadi prasyarat bagi tercapainya tata pemerintahan yang baik (good governance).

Persoalan transparansi dalam konteks anggaran publik penting didiskusikan ketika fase pemerintahan mulai mengakhiri tahun berjalan dan bersiap memasuki tahun anggaran baru.

Di Indonesia, urgensinya bukan hanya akibat gonjang-ganjing terbukanya rencana anggaran di Pemprov DKI Jakarta, tetapi juga karena momentum hasil penilaian terhadap kepatuhan badan-badan publik terhadap kewajiban membuka informasi publik.

Selama bertahun-tahun, informasi anggaran selalu menjadi anasir paling sulit untuk dibuka oleh badan publik. Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan Komisi Informasi Pusat terhadap 355 badan publik dan diluncurkan menjelang akhir 2019 patut disimak.

Dari jumlah itu 264 badan publik yang melakukan registrasi, data yang menunjukkan bahwa belum semua badan publik menyadari pentingnya transparansi.

Ironisnya, jumlah badan publik yang tidak informatif justru lebih banyak dibandingkan akumulasi jumlah badan publik yang dikualifikasi informatif, menuju informatif, cukup informatif, dan kurang informatif. Perbandingannya 189:166 badan publik.

Komisi Informasi Pusat, yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 14/2008 untuk “menjaga” iklim keterbukaan informasi, secara khusus menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik di Indonesia masih jauh dari tujuan yang diamanatkan undang-undang. Ini berarti ada pekerjaan rumah yang harus dirampungkan satu per satu pada tahun-tahun mendatang.

Keterbukaan informasi adalah fenomena global yang sulit dihindari di tengah perkembangan pesat teknologi. Imbasnya terasa ke banyak bidang, termasuk penyelenggaraan pemerintahan.

Warga masyarakat membutuhkan informasi untuk memperoleh gambaran yang akurat tentang apa yang dilakukan pemerintahannya sehingga warga dapat berpartisipasi lebih banyak; sedangkan bagi aparatur pemerintahan, informasi berguna untuk memformulasikan kebijakan berbasis riset (research-based policy) dan mengimplementasikan kebijakan itu sesuai analisis atas informasi yang diperoleh.

Tantangannya adalah memilah dan memilih informasi yang diperlukan masing-masing institusi untuk membangun penyelenggaraan pemerintahan yang kolaboratif.

Bagaimanapun, saat ini tersedia banyak saluran informasi yang diperoleh warga negara, dan jumlahnya pun melimpah.

Lantas, bagaimana badan-badan pemerintahan dan warga menyikapi limpahan informasi itu? Salvatore Schiavo-Campo (2019) menegaskan bahwa informasi yang dapat dipercaya (reliable), tepat waktu (timely), dan relevan (relevant) sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan administrasi publik yang efektif.

Memasuki Tahun Baru 2020, kita perlu mengingat kembali kata-kata yang sering dikutip dalam isu keterbukaan informasi publik.

Louis Brandeis, seorang hakim Amerika Serikat, “Sunlight is the best disinfectant “. Terbuka jauh lebih bermanfaat mengurangi risiko yang timbul dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kalau bersih, mengapa harus risih!

Related Posts