Sabtu (3/12/2016) Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI menyelenggarakan kegiatan seminar gizi internasional Nutrition Expo 6 di Gedung D Auditorium, Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK) UI Depok.
Mengusung tema “Gizi Sebagai Aspek Sentral Dalam Pembangunan: Pencapaian Sumber Daya Manusia (SDM) Berdaya Saing Tinggi”, kegiatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya gizi dalam upaya peningkatan kualitas SDM.
Masyarakat diajak untuk mengenali aspek gizi dan nutrisi dalam perilaku sehari-hari yang dijalani, seperti perilaku diet dan pola makan, membesarkan anak, serta membentuk kecantikan fisik.
Salah satu yang dibahas dalam sesi panel adalah bagaimana perilaku diet dan pola makan memengaruhi keadaan dunia, bukan hanya tentang kepentingan individu semata.
Satrio Wicaksono, Ph.D. dari World Resources Institute Indonesia yang hadir sebagai salah satu narasumber, memperkenalkan kepada peserta apa yang disebut dengan fenomena “Food Gap”.
Data dari Bank Dunia menyebutkan bahwa tahun 2050 ketika penduduk dunia mencapai 9 miliar orang, dunia membutuhkan pangan 70% lebih banyak dari sekarang.
Masalahnya adalah, produksi pangan dunia saat ini justru cenderung turun 25% karena berbagai faktor seperti seperti penurunan kesuburan tanah, pembukaan lahan, penurunan kualitas air dan kerusakan sumber daya alam lainnya.
Jurang kebutuhan pangan dengan produksi yang dihasilkan inilah yang disebut dengan fenomena “Food Gap”.
Ini sesuai dengan teori Thomas Robert Malthus (1766—1834) yang mengatakan bahwa laju pertambahan penduduk meningkat berdasarkan deret ukur, sedangkan produksi pangan berdasar deret hitung.
Ternyata pola makan kita juga turut mempengaruhi terjadinya “Food Gap” ini.
“Pola makan seluruh dunia saat ini mengarah kebarat-baratan dan bergeser ke arah pola makan urban yang cenderung sarat kalori dan animal-based foods,” ujar Satrio.
Apa yang terjadi ketika pola makan menjadi cenderung ke arah urban? Terjadi pembukaan lahan besar-besaran untuk peternakan, yang pada akhirnya menyebabkan efek rumah kaca, penurunan kesuburan tanah, penggunaan air yang mubazir, dan perubahan iklim.
Hal ini jugalah yang pada akhirnya menyebabkan penurunan produksi pangan, terutama buah-buahan dan sayur-sayuran yang semakin tidak diminati masyarakat, namun dibutuhkan.
“Ternyata pola makan kita bukan hanya tentang diri kita sendiri, tapi juga tentang orang lain. Ini yang harus kita sadari,” tambahnya.
Menurutnya, yang harus kita lakukan adalah mengubah pola makan kita untuk lebih mengedepankan makanan-makanan nabati seperti buah dan sayuran serta tidak mengkonsumsi makanan berbasis hewan dengan berlebihan.
Selain itu, ia juga menyarankan pemerintah membuat semacam food hall murah di setiap daerah untuk menjual produk-produk pangan lokal.
Selain mencegah mafia pangan, hal ini juga berguna untuk meningkatkan penyerapan produksi pangan lokal, agar tidak mubazir dan menghasilkan keuntungan yang lebih bagi petani.
Penulis : Wanda Ayu