Dalam memberitakan kasus kekerasan seksual, media kerap melakukan pelanggaran terhadap privasi, seperti menampilkan wajah, nama, keluarga, dan alamat korban. Pelanggaran ini menyebabkan trauma psikis bagi korban.
Etika dalam menyajikan berita yang berimbang dan tidak bias gender seringkali tak dihiraukan demi mengejar keuntungan semata. Kehadiran regulasi yang disepakati pun terbukti kurang efektif untuk meminimalisasi pelanggaran kode etik terkait privasi korban pelecehan seksual.
Persoalan inilah yang dibahas dalam diskusi bertajuk “Privasi dalam Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual” yang dilaksanakan oleh Kelas Etika Media, Program Sarjana Ilmu Komunikasi UI pada Rabu (7/12/2016) di Auditorium Gedung Komunikasi, FISIP UI.
Diskusi ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu Mayong Suryo Laksono (Komisioner KPI Pusat), Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan), Luviana (Perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)).
Luviana menerangkan bahwa terdapat tiga perspektif media dalam memberitakan kasus kekerasan seksual, khususnya yang menimpa perempuan. Pertama, perspektif positivis yang menganggap bahwa tubuh perempuan memang layak dieksploitasi dalam pemberitaan sehingga kerap menampilkan stereotip gender dalam pemberitaannya.
Kedua, perspektif konstruktivis yang mulai melakukan kritik terhadap isu stereotip gender yang menyebabkan diskriminasi dan kekerasan. Terakhir, perspektif kritis yang mencoba membongkar relasi kuasa yang berada di balik eksploitasi tubuh perempuan, misalnya dari sisi ekonomi-politik.
“Di Indonesia, media terbanyak masih yang berperspektif positivis, makanya akhirnya pemberitaan yang dihasilkan tidak sensitif gender,” tutur Luviana.
Selain media, budaya pemerkosaan (rape culture) yang berkembang di masyarakat juga turut berperan dalam melanggengkan posisi perempuan sebagai pihak yang tertindas dalam pemberitaan tentang kekerasan seksual. Menurut Mariana, rape culture ini menguatkan anggapan bahwa agresi seksual yang dilakukan laki-laki adalah sebuah hal yang wajar, sedangkan seksualitas perempuan dianggap sebagai hal yang tabu.
Berdasarkan temuan Komnas Perempuan pada tahun 2015, pelanggaran terbanyak yang dilakukan media dalam pemberitaan kekerasan seksual adalah pengungkapan identitas korban dan stigmatisasi. Padahal, dalam pasal 5 Kode Etik Jurnalistik jelas melarang jurnalis untuk mengungkapkan identitas korban kekerasan seksual.
Pelanggaran ini kerap muncul karena banyaknya jurnalis yang kurang memahami kode etik jurnalistik. Teguran dari KPI untuk pemberitaan di media siar pun seringkali dianggap sebagai angin lalu saja oleh institusi media.
Meski AJI sering mengadakan pelatihan dan forum sebagai sarana belajar bagi jurnalis, terkadang banyak jurnalis yang tidak sempat mengikuti pelatihan karena beban kerja yang cukup menyita waktu.
“Sistem kapitalisme media menuntut satu reporter harus menyelesaikan minimal delapan berita dari tempat yang berbeda, kapan lagi ia punya waktu belajar?” kata Luviana.
Oleh karena itu, peningkatan kualitas jurnalis agar sensitif terhadap gender tidak dapat hanya mengandalkan asosiasi profesi semacam AJI saja. Namun, perlu adanya perhatian dari institusi media untuk memperhatikan kualitas awak medianya. Di akhir diskusi, Luviana berpesan pada mahasiswa yang hadir,
“Jika teman-teman nantinya menjadi jurnalis, tolong tempatkan diri sebagai korban ketika membaca berita yang ditulis. Kalau muncul perasaan yang tidak nyaman, berarti ada yang salah dengan berita itu.”
Penulis: Dara Adinda Kesuma Nasution