“Keterbukaan dalam budaya akan menjauhkan kita dari perilaku, tindakan, dan sikap yang eksklusif, sehingga kita menjadi orang yang inklusif yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, orang yang berbudaya itu biasanya santun dan tidak memenuhi diri dengan hawa nafsu atau egois. Ini sejalan dengan makna puasa yang di antaranya adalah untuk mengekang hawa nafsu,” ujar Achmad Solechan, S.Si., M.Si. selaku Kepala Sub Direktorat Layanan Kemahasiswaan Universitas Indonesia (UI).
Pernyataan Achmad Solechan tersebut disampaikan dalam cara Ngabuburit Budaya yang diadakan pada Jumat (22/3), di Gedung Makara Art Center (MAC) UI. Ngabuburit Budaya bertema “Penanaman Nilai Kebangsaan melalui Kebudayaan” ini merupakan bagian dari program Syiar Ramadhan UI 2024 yang diselenggarakan oleh MAC UI bekerja sama dengan Komunitas Bakul Budaya dan Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni UI.
Sesi talkshow Ngabuburit Budaya diisi oleh dua narasumber, yakni Budayawan sekaligus Ketua Asosiasi Tradisi Lisan DKI Jakarta, Yahya Andi Saputra; serta Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Rahmat Hidayat, S.S., M.M.A. Keduanya secara interaktif berbagi pandangan tentang pentingnya melestarikan budaya dan tradisi lokal, serta tantangan yang dihadapi di era modern ini.
Pengetahuan tradisional kini menjadi asing di telinga masyarakat Indonesia. Meski di lingkup akademik konten atau materi terkait penanaman budaya masih dipelajari, namun bentuk kearifan lokal sudah jarang disaksikan dalam praktik sehari-hari. Dalam hal ini, Bang Yahya menawarkan cara untuk menghidupkan kembali rasa cinta terhadap budaya Indonesia, salah satunya melalui dapur.
“Dengan menggunakan peralatan memasak khas Indonesia, seperti dandang dan bakul, seseorang dapat menghidupkan kembali tradisi lokal yang mengajarkan pentingnya kesederhanaan. Adanya teknologi yang berkembang saat ini telah banyak mengubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat, terutama saat di dapur, dan mendegradasi peralatan masak yang dahulu fungsional,” ujarnya.
Menurut Dr. Rahmat, terlepas dari keberagaman suku bangsa di Indonesia, ada pola-pola dasar yang membuat bangsa Indonesia saling terhubung satu sama lain. Dari pola tersebut, konsepsi bangsa Indonesia terbangun, sebagaimana tercermin dalam Pancasila sila ke-3, yaitu Persatuan Indonesia, yang merefleksikan semangat persatuan dalam keberagaman.
“Pancasila merepresentasikan jiwa lokal yang sudah hidup, tumbuh, dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Persatuan Indonesia seyogyanya berbasis Bhinneka Tunggal Ika, dan menariknya, masyarakat Nusantara selalu mencari harmoni perdamaian antar satu sama lain, termasuk dari aspek beragama,” kata Dr. Rahmat.
Selain sesi diskusi, acara “Ngabuburit Budaya” juga diselingi dengan penampilan dari Komunitas Bakul Budaya yang membawakan tarian bertajuk “Wonderland Indonesia”. Tari kreasi yang berisi ragam gerak khas daerah di Nusantara ini diiringi paduan musik daerah yang disajikan secara medley. Setiap gerakan dan irama tari dipadukan secara harmonis dengan musik yang merefleksikan keragaman budaya Indonesia. Para penari tampil dengan mengenakan pakaian adat Minang, Jawa, Betawi, Bali, NTT, Bugis, hingga Papua.
Melalui penampilan seni dan diskusi budaya tersebut, diharapkan UI dapat turut merefleksikan nilai-nilai budaya dan tradisi, serta memperkokoh identitas kebangsaan yang stabil dan inklusif. Semangat mahasiswa untuk menjaga dan melestarikan keberagaman budaya Indonesia juga semakin kuat agar terbentuk pondasi yang solid bagi persatuan dan kesatuan bangsa.