Belakangan ini perbincangan tentang polusi udara –terutama yang terjadi di ibukota– menjadi topik hangat di publik. Berdasarkan data IQAir pagi ini, 4 Oktober 2023, Jakarta menempati peringkat ke-3 sebagai kota paling berpolusi di dunia. IQAir juga mempublikasikan di websitenya prakiraan indeks kualitas udara (AQI) kota Jakarta pada tanggal 1-7 Oktober 2023 berada pada tingkat polusi “tidak sehat/tidak sehat bagi kelompok sensitif”
Buruknya kualitas udara tersebut menjadi salah satu penyebab penyakit gangguan pernapasan di Indonesia, seperti pneumonia, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), dan asma. Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) Universitas Indonesia (UI) Dr. Hayati Sari Hasibuan mengatakan, kualitas lingkungan perkotaan tidak lepas dari interaksi antara penataan ruang dan transportasi. Distribusi ruang untuk perumahan, pekerjaan, pusat belanja, dan kegiatan lainnya menentukan jarak perjalanan dalam transportasi perkotaan.
Oleh sebab itu, urbanisasi menjadi salah satu penyebab peningkatan polusi udara. Data dari World Bank 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 50% masyarakat Indonesia tinggal di kawasan perkotaan sejak 2011 sampai dengan 2021. Pada tahun 2021, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perkotaan mencapai 57,29%.
Lebih lanjut, bentuk kota mempengaruhi kebutuhan transportasi dan mobilitas dengan pengelolaan yang tepat, dapat menurunkan konsumsi energi, emisi kendaraan, dan pencemaran udara. “Kita perlu mengatasi pencemaran udara atau emisi yang berasal dari kegiatan transportasi, tidak hanya dapat dilakukan pada hilir, melainkan harus dimulai dari hulu, yaitu mengintegrasikan tata ruang dengan transportasi,” kata Dr. Hayati dalam kuliah umum yang bertajuk “Pandangan Ilmu Lingkungan Terhadap Polusi Udara di Indonesia” yang diselenggarakan oleh SIL UI di Gedung IASTH, Kampus UI Salemba, pada Senin (25/9).
Ia menambahkan, dalam penerapannya diperlukan target dan indikator yang jelas mengacu pada konsep localized context Transit-Oriented Development (TOD) dan Walkability City (Kota Ramah Pejalan Kaki). Dr. Hayati menjelaskan, localized context TOD itu merupakan penerapan pembangunan yang dapat menurunkan emisi atau polusi udara dengan penggunaan energi dari transportasi yang mempertimbangkan kultur dan lingkungan lokal.
Selain konsep TOD dan Walkability City, Dr. Ir. Dwi Nowo Martono, M.Si, salah seorang akademisi SIL UI di bidang Proteksi Lingkungan mengatakan, diperlukan beberapa langkah pengendalian pencemaran udara, termasuk penerapan uji emisi sumber tidak bergerak dan uji emisi kendaraan bermotor, peningkatan kesadaran masyarakat tentang pencemaran udara dan dampaknya terhadap kesehatan. Penggunaan parameter PM2,5 sebagai tolok ukur utama kualitas udara wilayah, serta harmonisasi dan penerapan rencana tata ruang dengan benar dan konsisten. Sementara itu, Dr. rer. nat. Agustino Zulys salah seorang dosen dari Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI menambahkan dari sudut pandang ilmu kimia. Menurutnya, polusi udara adalah udara normal yang terkontaminasi bahan kontaminan, seperti bahan kimia, fisika, dan biologi, berbentuk gas, cairan, atau padatan yang berbahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan.
Salah satu sumber pencemaran udara, yaitu potensi bahaya pembakaran sampah di udara terbuka yang dapat membentuk zat toksik dan karsinogenik yang membahayakan kesehatan manusia. Dr. Agustino menyarankan kepada masyarakat dalam menangani permasalahan polusi udara untuk diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari, seperti penggunaan masker ketika bepergian, konsumsi air putih yang cukup, menggunakan transportasi umum, dan menghentikan pembakaran sampah di udara terbuka.