Prof. Dr. dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K), Guru Besar FKUI: Paradigma Baru Tangani Kasus Epilepsi pada Anak
Epilepsi merupakan penyakit neurologis yang sering mengenai anak. Selama pandemi Covid-19, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSCM) mencatat penurunan angka kunjungan pasien epilepsi ke Rumah Sakit (RS) menjadi 63,1% dari jumlah tahun sebelumnya. Data rekam medis tahun 2020–2022 Poliklinik Rawat Jalan RSCM menunjukkan jumlah pasien poliklinik neurologi anak sebanyak 14.402 pasien, dengan kunjungan pasien epilepsi sebanyak 5.760 pasien (40%).
Irawan Mangunatmadja melihat perlunya paradigma baru dalam penanganan komprehensif epilepsi anak pascapandemi Covid-19. Paradigma baru ini meliputi pemilihan Obat Anti-Epilepsi (OAE) yang selektif, kepemilikan asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bagi pasien anak epilepsi, kelengkapan imunisasi pada anak, akses rujukan ke RS Pendidikan bagi pasien anak, serta keterlibatan orang tua anak penderita epilepsi dalam Ruang Peduli Epilepsi Anak Indonesia (RPEAI).
Selama ini, belum ada kesepakatan mengenai tata laksana yang diberikan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) apabila ada pasien anak epilepsi yang datang dengan riwayat kejang. Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa 77% pasien yang diberi bolus fenobarbital intravena (IV) 10 mg/kg/kali tidak lagi mengalami kejang. Oleh karena itu, pasien dengan kejang dianjurkan diberi fenobarbital IV dalam dosis tersebut. Sayangnya, saat ini obat fenobarbital IV terbatas di puskesmas dan RS.
Akhir-akhir ini, banyak pasien epilepsi yang cenderung menjadi pasien Epilepsi Resisten Obat (ERO). Untuk mencegah hal tersebut, ditetapkan ketentuan dalam pemberian dan pemilihan OAE. Perlu ditentukan komorbiditas pada pasien dan faktor risiko yang bisa menyebabkannya menjadi pasien ERO. Pemilihan OAE awal untuk pasien epilepsi adalah OAE lini pertama sesuai dengan tipe kejang pasien. Apabila OAE awal sudah mencapai dosis maksimal dan pasien tetap kejang, dianjurkan pemberian OAE lini kedua sebagai kombinasi.
Apabila pasien telah menjadi ERO, pilihan terapi selanjutnya adalah diet ketogenik. Keberhasilan diet ketogenik lebih baik dibandingkan dengan OAE terbaru. Secara umum, diet ketogenik dapat menurunkan frekuensi kejang sebesar 50% atau lebih. Metode ini dapat menggunakan susu khusus atau diet dengan makanan menu rumah tangga (Modified Atkins Diet). Jika diet ketogenik tidak berhasil, pasien dapat berkonsultasi ke dokter spesialis bedah saraf untuk kemungkinan dilakukan bedah epilepsi.
Dalam paradigma baru penanganan epilepsi anak, pasien epilepsi sangat dianjurkan untuk melengkapi imunisasi rutinnya dan vaksinasi Covid-19. Adapun kriteria eksklusif pasien epilepsi yang tidak dapat menerima vaksinasi Covid-19 adalah pasien yang kejangnya masih sering berulang, epilepsinya disebabkan penyakit autoimun, dan disertai penurunan kesadaran. Selain keadaan tersebut, pasien epilepsi wajib menerima imunisasi rutin dan vaksin Covid-19.
Pasien epilepsi diharuskan mempunyai asuransi kesehatan karena pengobatan dan perawatan memerlukan biaya yang cukup banyak. Pasien epilepsi setidaknya mempunyai BPJS yang berlaku di RS setempat untuk mendapat layanan komprehensif dan memiliki fasilitas rujukan ke RS Pendidikan. Hal ini karena ketersediaan OAE di RS hanya memenuhi kebutuhan OAE lini pertama dan kedua, sedangkan pasien ERO yang sering mengalami kedaruratan dianjurkan mempunyai fasilitas rujukan ke RS Pendidikan di kota terdekat.
Pemantauan pasien epilepsi selama berobat dilakukan melalui buku pendamping anak epilepsi dan aplikasi pemantauan epilepsi. Divisi Neurologi KSM Anak RSCM-FKUI telah mempunyai Buku Pemantauan Epilepsi Anak dan Aplikasi Pemantauan Epilepsi untuk memantau frekuensi kejang, kepatuhan minum OAE, dan kualitas hidup pasien epilepsi anak.
Selain memengaruhi kualitas hidup pasien, epilepsi juga memengaruhi keterbatasan orang tua dalam ranah fungsi sosial dan kesehatan mental. Oleh karena itu, orang tua pasien disarankan bergabung dengan Ruang Peduli Epilepsi Anak Indonesia (RPEAI) yang memfasilitasi orang tua untuk bertanya atau meminta pertimbangan dari dokter spesialis serta tim ahli demi pengobatan anak yang lebih tepat.
Berkat temuan ini, Prof. Dr. dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K) berhasil dikukuhkan menjadi Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pada Sabtu (11/2). Prosesi pengukuhan guru besar ini dipimpin oleh Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D., di Aula Imeri, Kampus UI Salemba.
Turut hadir dalam pengukuhan tersebut, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Ir. Budi Gunadi Sadikin, CHFC, CLU.; Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama RSUP Sulianti Saroso, dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH.; Plt. Sesditjen Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, dr. Soenarto; Direktur Utama RSCM, dr. Lies Dina Liastuti, SpJP(K), MARS, FIHA.; Guru Besar Departemen Pendidikan Kedokteran FKUI dan Perhimpunan Pengkaji Ilmu Pendidikan Kedokteran Indonesia, Prof. Dr. dr. Retno W. Subaryo, SpKK(K).; serta Advisor and Founder PT Blue Bird sekaligus Ketua MWA UI Periode 2007–2012, dr. H. Purnomo Prawiro.
Prof. Dr. dr. Irawan menyelesaikan Program Dokter Umum FKUI (1984), Program Dokter Spesialis Anak FKUI (1993), dan Doktor Ilmu Kesehatan Anak. Pada 2021, Prof. Dr. dr. Irawan meraih Penghargaan Ikatan Dokter Anak Indonesia AH Markum dalam penulisan ilmiah di majalah Pediatrica Indonesiana. Beberapa karya ilmiah yang dipublikasikan oleh Prof. Dr. dr. Irawan, yaitu Risk Factors Predicting Intractability in Focal Epilepsy in Children Under 3 Years of Age: A Cohort Study (2021); Risk Factors for Drug Resistance in Epileptic Children with Age of Onset Above Five Years: A Case-Control Study (2021); dan The Role of Clinical Diagnostic Criteria for Anti-N-Methyl-D-Aspartate Receptor Encephalitis in Children: A Case Report (2022).
Selengkapnya: