id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Penanganan Hukum bagi Korban Pelecehan Seksual

Sexual abuse IllustrationTak sedikit kasus pelecehan seksual yang tidak terjangkau hukum. Penyebabnya antara lain korban yang lebih memilih bungkam ketimbang melaporkan kasus yang akan dianggap sebagai aib oleh masyarakat. Selain itu, sulitnya memberikan bukti dan saksi yang mendukung pihak korban juga menjadi persoalan tersendiri dalam pengusutan kasus pelecehan seksual. Tak pelak hal tersebut membuat banyak pelaku pelecehan seksual lepas dari tuntutan hukum. Bagaimana hukum di Indonesia memandang masalah ini?

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Topo Santoso, Ph.D., mengatakan, ketika perlindungan hukum sulit didapatkan, pelaku pelecehan seksual akan terus mengulangi perbuatannya. Bunyi pasal dalam undang-undang seringkali terbatas, tidak lengkap, dan tidak jelas. Hakim dalam hal ini hendaknya menjadi otonom, dengan memberikan penafsiran dari perspektif yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan perlindungan hukum. Penjelasan tersebut disampaikan Topo Santoso dalam diskusi akademik terkait terobosan hukum bagi korban kekerasan seksual, Kamis (19/9/2014), di Aula Terapung Perpustakaan UI, Depok.

Hakim harus menggali dan membentuk hukum. Hakim, kata Topo, punya kewenangan untuk melakukan penafsiran sendiri, dalam hal ini terhadap bunyi Pasal 285 KUHP tentang kekerasan seksual. Dengan kewenangan tersebut, kasus-kasus pelecehan seksual dapat dituntaskan dan korban dapat dilindungi. “Hakim harusnya melakukan pendekatan secara otonom, di mana dia membentuk hukum dari pasal-pasal itu. Dia harus menggali kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat,” jelas Dekan Fakultas Hukum UI ini.

Pakar Antropologi Hukum UI, Prof. Sulistyowati Irianto, menganggap kasus pelecehan seksual harus dilihat secara khusus. Kasus seperti itu menurutnya dapat sulit diungkap karena beberapa korban memerlukan waktu untuk melaporkan perlakuan yang diterimanya. Korban, lanjutnya, dapat dilanda depresi karena membayangkan akibat untuk dirinya dan keluarganya jika masyarakat tahu, mengingat hal tersebut dapat dipersepsikan sebagai kehilangan masa depan. “Harus dipahami dalam konteks psikologi, sosial, dan budaya dari perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual,” ucap Ketua Program Pascasarjana UI tersebut.

Senada dengan Topo Santoso, menurut Sulistyowati, unsur kekerasan yang disebutkan dalam Pasal 285 KUHP hendaknya dipahami secara luas. Kekerasan memiliki cakupan yang luas. Upaya membangun citra hingga menjadi alat untuk menguasai pihak yang lebih lemah menurutnya juga termasuk kekerasan. Hal tersebut perlu diperhitungkan mengingat pelecehan seksual dapat terjadi berulang kali dengan memanfaatkan relasi yang timpang antara pelaku dengan korbannya. Kesimpulan yang didapat dalam sejumlah kajian juga menyebutkan bahwa pelecehan seksual seringkali dilakukan oleh orang-orang terdekat, bahkan oleh orang-orang yang seharusnya menjaga korban. (KHN)

(Ilustrasi: www.gettyimages.com)

Related Posts