Depok, 17 Juli 2024. Universitas Indonesia (UI) melalui Dewan Guru Besar (DGB) mengadakan webinar bertema “Ketahanan dan Kedaulatan Pangan, Berbagai Permasalahan, dan Usulan Pemikiran”, pada Selasa (16/7). Menurut Sekretaris DGB UI, Prof. Dr. drg. Indang Trihandini, M.Kes., kajian ini penting mengingat krisis pangan merupakan fenomena global yang harus dihadapi negara-negara dunia, termasuk Indonesia.
“Bangsa kita adalah pengimpor besar berbagai bahan kebutuhan pangan. Padahal, begitu banyak hasil penelitian di bidang pangan yang bisa membantu untuk merevitalisasi potensi ketahanan pangan yang modern dan berbasis ilmiah. Untuk itu, kajian ini diperlukan guna memetakan langkah apa saja yang harus dilakukan dalam mengatasi masalah penyediaan pangan di Indonesia,” ujar Prof. Indang.
Webinar yang dipandu oleh Guru Besar Fakultas Hukum UI, Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, tersebut menghadirkan tiga narasumber, yakni Prof. Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, MS. dan Prof. Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr. dari IPB University, serta Prof. Subejo, S.P., M.Sc., Ph.D. dari Universitas Gadjah Mada. Ketiganya membahas berbagai permasalahan penyediaan pangan dan solusi/gagasan untuk mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia.
Pada kesempatan itu, Prof. Andreas menyoroti permasalahan di sektor pertanian dan pangan dalam sepuluh tahun terakhir. Permasalahan tersebut meliputi peningkatan jumlah petani miskin; impor bahan pangan dalam jumlah besar untuk beberapa komoditas; penurunan lahan sawah sebesar 1 juta hektar selama 7 tahun; dan proyek food estate yang melanggar empat pilar pengembangan lahan pangan (kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan infrastruktur, kelayakan sosial dan ekonomi, serta kelayakan teknologi).
Menurutnya, kedaulatan pangan yang menyejahterakan petani dapat ditempuh melalui re-orientasi ekonomi-politik kedaulatan pangan, yakni pembangunan pertanian berbasis petani kecil (small-scale farmer based agricultural development). Untuk itu, kunci produksi pangan berkelanjutan adalah peningkatan kesejahteraan petani dengan tetap mempertahankan Pulau Jawa sebagai lumbung pangan, diversifikasi, dan produktivitas.
Selain itu, Prof. Subejo melihat permasalahan lain dalam sektor pertanian, yakni land grabbing. Land grabbing adalah kondisi saat banyak negara kaya dan korporasi transnasional menanamkan modalnya untuk mengakuisisi lahan pertanian secara murah dalam skala besar (jutaan hektar). Dengan penguasaan lahan tersebut, korporasi memproduksi dan mengatur distribusi dan harga pangan. Ideologi ini cenderung melawan gagasan kedaulatan pangan (food sovereignty). Padahal, menurut Prof. Subejo, kedaulatan pangan negara bukan hal yang bisa ditawar.
“Salah satu contohnya adalah Singapura yang selama bertahun-tahun menjadi juara 1 untuk food security. Meski tidak memiliki sawah dan kebun, dengan kemampuan finansialnya, Singapura mampu membeli pangan dari seluruh dunia. Namun, saat pandemi, pasar sangat sulit menerima stok barang. Banyak negara lebih mementingkan stok barang sendiri daripada menjualnya ke pasar internasional, sehingga meski memiliki banyak uang, Singapura tidak dapat mengakses pangan dengan baik sebagaimana saat kondisi normal,” kata Prof. Subejo.
Saat ini, ada enam komoditas pangan Indonesia yang bergantung pada impor, yakni gandum, gula, garam, kedelai, jagung, dan bawang putih. Sementara itu, untuk beras berasal dari padi sawah (95%) dan padi gogo/lahan kering (5%), dengan sebagian besar (55,87%) diproduksi di Pulau Jawa. Seluruh usaha pertanian Indonesia belum efisien dan memakan biaya produksi yang lebih mahal dibandingkan Filipina, China, India, Thailand, dan Vietnam. Selain itu, Indonesia juga menjadi negara dengan food loss terbesar kedua di dunia, yakni 300 kilogram/orang/tahun.
Melihat fakta ini, Prof. Suryo menekan pentingnya membangun infrastruktur produksi yang diimbangi dengan edukasi pada masyarakat. Perluasan areal tanam perlu dilakukan dengan tetap memperhatikan empat pilar pengembangan lahan pangan. Pemanfaatan teknologi juga diperlukan untuk menghasilkan beragam varietas padi dan menciptakan sistem terintegrasi untuk menghemat biaya produksi. Pendidikan dan pelatihan harus diberikan kepada petani agar mereka dapat beradaptasi terhadap perubahan. Selain itu, kebijakan dari kelembagaan diperlukan untuk mendorong penerapan inovasi pertanian, terciptanya sinergitas pusat dan daerah, serta tersedianya rumah belajar petani.