Salemba, 14 Oktober 2023. Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D., mengukuhkan Prof. dr. Aida Lydia, Ph.D., Sp.P.D.(K)., FINASIM sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran (FK) UI, pada Sabtu (14/10), di Aula IMERI FKUI, Jakarta Pusat. Prof. Aida dikukuhkan sebagai guru besar setelah menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Merawat Kesehatan Ginjal Generasi Muda Indonesia: Peran Deteksi Dini Glomerulonefritis”.
Dalam pidatonya, Prof. Aida menyebut bahwa Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan utama di dunia dengan prevalensi global sebesar 13,4%. Jumlah disability-adjusted life years PGK juga meningkat sebesar 93% dari 21,5 juta menjadi 41,5 juta pada 1990 hingga 2019. Apabila tidak ada upaya pencegahan yang optimal dan konsisten, PGK diperkirakan berada di peringkat ke-13 pada 2030 dan naik di peringkat ke-5 pada 2040 sebagai penyebab kematian di dunia.
Data global menunjukkan bahwa penyebab gagal ginjal terbanyak di dunia adalah diabetes dan hipertensi, diikuti glomerulonefritis. Angka kejadian glomerulonefritis berbeda di setiap negara. Di negara dengan penghasilan rendah-menengah, glomerulonefritis menempati penyebab nomor dua setelah diabetes, dan menyumbang sekitar 20–25% kasus PGK di dunia.
Glomerulonefritis (GN) merupakan penyakit immune-mediated yang ditandai dengan peradangan dan kerusakan pada glomerulus ginjal. Glomerulus merupakan suatu gelung pembuluh darah kapiler yang berperan menyaring darah untuk membentuk urin. Pada kasus GN, barier filtrasi terganggu sehingga terjadi kebocoran protein dan sel darah merah di dalam urin. Jika tidak diobati secara dini, penyakit ini akan berlanjut progresif hingga pasien mengalami gagal ginjal dan memerlukan terapi penggantian ginjal (dialisis atau transplantasi ginjal).
Di Indonesia, data mengenai GN masih sedikit dan sebagian besar didapat dari pasien yang menjalani cuci darah (hemodialisis). Pada periode Januari–Desember 2020, penelitian kohort prospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mendapati 193 pasien baru yang menjalani hemodialisis. Sebanyak 46,1% gagal ginjal disebabkan oleh penyakit ginjal diabetes, 21,2% oleh GN, dan 14,6 % oleh hipertensi. Pasien GN pada studi ini rata-rata berusia muda (30 tahun) saat pertama kali menjalani hemodialisis.
Studi lainnya pada 2022, di lima pusat pelayanan kesehatan tersier di Jakarta, menunjukkan bahwa GN merupakan penyebab gagal ginjal kedua terbanyak setelah diabetes (13%). Mayoritas pasien GN berasal dari kelompok dewasa muda (24–40 tahun) dengan rerata usia 32 tahun. Sementara itu, Unit Dialisis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM mendapati bahwa pada tahun 2014–2017, dari 61 orang anak yang menjalani dialisis, 70% gagal ginjal disebabkan oleh GN. Anak-anak tersebut tumbuh mencapai usia remaja/dewasa muda dengan tetap menjalani transplantasi ginjal.
Prof. Aida mengatakan bahwa tanda awal dari GN adalah ditemukannya protein dan atau sel darah merah pada urin. Akan tetapi, pasien sering kali tidak menyadarinya. Kondisi tersebut terdeteksi saat seseorang menjalani pemeriksaan kesehatan umum (general check-up). Apabila kebocoran protein cukup banyak, pasien akan mengalami keluhan urin berbusa, dan terkadang disertai keluhan urin berwarna merah. Kebocoran protein yang tergolong masif dalam urin juga menyebabkan protein darah berkurang dan menimbulkan keluhan bengkak pada kelopak mata, kaki, atau seluruh tubuh.
Untuk menangani kasus GN, terapi suportif merupakan upaya yang harus diterapkan, seperti pembatasan asupan garam, stop merokok dan minum alkohol, menjaga berat badan ideal, serta mengonsumsi obat sesuai anjuran dokter. Namun, Prof. Aida tetap berpegang pada prinsip kesehatan, yakni mencegah lebih baik dari pada mengobati. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya agar kasus GN tidak terjadi.
Prof. Aida menjelaskan ada tiga kategori pencegahan untuk kasus GN, yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer berarti mencegah timbulnya penyakit seperti upaya promosi kesehatan, menerapkan pola hidup sehat, dan menciptakan lingkungan yang sehat. Pencegahan sekunder adalah diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment). Sementara, pencegahan tersier meliputi penatalaksanaan komplikasi dan mencegah kecacatan.
“Jika GN diketahui sejak dini dan diberikan terapi optimal, kemungkinan pasien dapat sembuh, atau remisi parsial, sehingga progresivitas penyakit dapat dihambat. Namun, jika terlambat, penyakit akan berlanjut menjadi PGK dan gagal ginjal. Gagal ginjal pada usia muda menjadi beban bagi pasien, keluarga, dan pemerintah. Pasien mengalami hambatan aktivitas dan beban psikososial. Sementara itu, BPJS kesehatan mengeluarkan dana yang besar untuk biaya dialisis. Untuk itu, perlu gerakan bersama antara dokter, organisasi profesi, Kementerian Kesehatan, JKN, guru/pendidik, dan masyarakat dalam menangani kasus ini agar kesehatan ginjal generasi muda Indonesia tetap terjaga,” ujar Prof. Aida.
Penelitian tentang kesehatan ginjal tersebut merupakan satu dari banyaknya penelitian yang dilakukan oleh Prof. Aida. Beberapa penelitian lainnya adalah Characteristics of Maintenance Hemodialysis Patients with Sarcopenia in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta (2023); Practical Considerations for the Use of SGLT-2 Inhibitors in the Asia-Pacific Countries – An Expert Consensus Statement (2023); dan Diagnostic Performance of Mac-2 Binding Protein Glycosylation Isomer (M2bpgi) as A Liver Fibrosis Marker in Chronic Hepatitis C Patients with Chronic Kidney Disease on Hemodialysis (2023).
Prof. dr. Aida Lydia, Ph.D., Sp.P.D.(K)., FINASIM menamatkan pendidikan Program Studi Pendidikan Dokter, FKUI pada 1984; pendidikan Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FKUI pada 1996; pendidikan Program Studi Pendidikan Dokter Subspesialis Ginjal Hipertensi FKUI tahun 2003; serta menyelesaikan pendidikan Program Studi Doktor Bidang Ilmu Kedokteran di Juntendo University, Tokyo-Japan pada 2012.
Prosesi pengukuhan guru besar Prof. Aida turut dihadiri oleh Komisaris Utama PT Taspen, Komjen Pol (P) Drs. Suhardi Alius, M.H.; Direktur PKR Kemenkes, Drg. Yuli Astuti Saripawan, M.Kes.; Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Prof. Dr. dr. Haerani Rasyid, SpPD-KGH, MS, SpGK; Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH; dan Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Krida Wacana, Prof. Dr. dr. Tonny Loho, DMM, SpPK(K).