Penyelenggaraan siaran yang memanfaatkan frekuensi milik publik di Indonesia dirasa semakin diintervensi oleh kepentingan politik. Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya Universitas Indonesia bekerja sama dengan Remotivi menyelenggarakan Diskusi Publik bertajuk “Politisasi Media: Di Manakah Pers yang Bebas dan Profesional?”
Diskusi diselenggarakan di Auditorium Gedung Komunikasi FISIP UI, Kamis (16/4/2015). Hadir sebagai pembicara Dr. Nina M. Armando (Komisioner KPI 2010-2013 dan Dosen Ilmu Komunikasi UI), Langitantyo T. Gezar (mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UI, anggota KSM Eka Prasetya UI), dan Septi Diah Prameswari, S.I.K (Divisi Kampanye dan Advokasi Remotivi).
Langit memaparkan data penelitian oleh Hendrato Darudoyo pada 2009 bahwa 76% dari 82 jurnalis yang bekerja di 6 surat kabar nasional merasa pekerjaannya diintervensi oleh pemilik media. Sementara, 71% merasa bahwa keputusan konten yang telah dibuat dapat diubah oleh pengaruh pemilik media.
“Maka, kita membutuhkan media alternatif yang bebas dan profesional,” ujar Langit. Media alternatif yang dicontohkan adalah Selasar dan Akumassa.
“Pada masa Pemilu 2014, kepentingan politik pemilik media diberitakan dalam berita yang masih dipertanyakan news value-nya,” ungkap Nina. Contohnya, liputan tentang pemilik atau pemimpin partai disajikan dalam durasi yang tidak wajar. Berita ringan tentang calon legislatif dari partai pemilik media disajikan tanpa menyebutkan identitas. Kepentingan politik bahkan juga diselipkan dalam program non-jurnalistik seperti iklan, kuis, sinetron, siaran adzan, dan acara pencarian bakat.
Sejak dilakukan judicial review terhadap wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), pihak yang berwenang membuat peraturan pelaksanaan undang-undang hanya pemerintah. “Ini menyebabkan pemerintah jalan sendiri. KPI tidak punya kuasa apa-apa. Akibatnya, kembali tidak demokratis,” kata Nina.
KPI tidak bisa mengeluarkan denda administratif, pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu, penahanan perpanjangan izin penyelenggaraan siaran, dan pencabutan izin penyelenggaraan siaran. “KPI hanya bisa memberikan teguran tertulis dan penghentian sementara mata acara yang bermasalah. Padahal, setiap wewenang KPI yang dapat dijalankan seharusnya dapat memberikan efek jera pada televisi karena kerugian yang akan mereka alami,” papar Nina.
Septi mengatakan, penonton haruslah berperan sebagai warga negara. “Kita perlu berpartisipasi dengan melakukan pengawasan terhadap penyiaran,” ujarnya. Ia mengimbau untuk mengadukan siaran yang buruk ke KPI atau melalui aplikasi Rapotivi. Warga dapat mengacu kepada Undang-Undang Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Aplikasi Rapotivi dikembangkan oleh Remotivi untuk melakukan pengaduan secara sistematis. Di dalamnya juga terdapat literasi media berupa komik, infografis, dan kabar terbaru.
Penulis: Dinda Larasati