Praktik Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, yakni Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara, dan Maluku. Di Maluku, kasus PETI terjadi di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Buru. Menurut Irjen. Pol. Drs. Royke Lumowa, M.M., mahasiswa Program Doktoral di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI), kasus PETI di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, menimbulkan kerusakan lingkungan, gangguan keamanan, gangguan kesehatan masyarakat penambang, penurunan perekonomian masyarakat, serta perubahan sosial.
Dalam disertasinya yang berjudul “Penataan Penambangan Emas Tanpa Izin Menuju Pertambangan Rakyat Berkelanjutan”, Royke menyebutkan bahwa dampak PETI terhadap lingkungan terlihat dari tingginya tingkat pencemaran dan kontaminasi merkuri dan sianida pada irigasi lahan pertanian di sekitar Gunung Botak. Selain itu, ekonomi masyarakat pesisir di sekitar wilayah tersebut juga terdampak karena ikan hasil tangkapan mereka dianggap tercemar merkuri sehingga tidak layak konsumsi.
Membaca situasi ini, Royke menilai perlunya langkah konkret dari negara selaku pemegang kuasa pengelolaan sumber daya alam. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang memiliki kewenangan atas penertiban praktik PETI harus mendorong terwujudnya pertambangan rakyat berkelanjutan. “Sebagai representasi negara, Polri berperan mempertahankan situasi absennya aktivitas PETI secara inklusif atau mencegah aktivitas PETI di wilayah tersebut secara berkesinambungan agar praktik pertambangan rakyat berkelanjutan dapat terwujud,” ujar Royke.
Penelitian yang dilakukan Royke bertujuan membangun model peran Polri dalam menciptakan situasi absennya aktivitas PETI secara inklusif agar praktik pertambangan rakyat berkelanjutan di wilayah Gunung Botak, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku bisa terwujud. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran pokok Polri dalam penertiban PETI di Gunung Botak berpengaruh terhadap pencapaian absennya aktivitas PETI. Pencapaian tersebut semakin besar karena adanya peran nonformal Polri, yakni peran pengaruh. Peran kelembagaan Polri dan peran pengaruh berpotensi menciptakan inklusivitas absennya praktik PETI.
Beberapa pihak terkait mengupayakan legalisasi pertambangan melalui Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Hasilnya, WPR di Gunung Botak sudah ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. Saat ini, proses tersebut telah sampai pada tindak lanjut Izin Pertambangan Rakyat (IPR) oleh Pemerintah Provinsi Maluku dengan tetap mengedepankan pertambangan yang ramah lingkungan.
Untuk mewujudkan praktik pertambangan rakyat berkelanjutan, Royke memberikan empat rekomendasi bagi Pemerintah Pusat dan Daerah. Pertama, kerangka hukum yang lebih afirmatif dalam penertiban praktik PETI. Kedua, program kesejahteraan sosial dan ekonomi di tingkat akar rumput untuk mendorong inklusivitas absennya praktik PETI dalam kerangka kelembagaan WPR. Ketiga, pengawasan Pemerintah Pusat untuk mencegah terjadinya praktik PETI melalui program pemberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat. Terakhir, proses pelembagaan WPR dan pengelolaan IPR didasarkan pada kebutuhan luasan yang sebenarnya dan terpenuhinya akses masyarakat lokal.
Dalam disertasinya, Royke juga memberikan rekomendasi untuk institusi Polri. Menurutnya, kehadiran Polri secara nasional harus mendukung Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pelaksanaan implementasi kebijakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar wilayah tambang. Ini dilakukan untuk memastikan tercapainya kepentingan ekonomi, perlindungan sosial, dan lingkungan. Selain itu, Polri perlu meningkatkan wawasan tentang paham keberlanjutan (sustainability) guna mendorong peran Polri dalam praktik pertambangan berkelanjutan.
Berkat penelitiannya, Irjen. Pol. Drs. Royke Lumowa, M.M. yang merupakan purnawirawan Polri ini berhasil meraih gelar Doktor dalam waktu 5 semester, berpredikat cumlaude dengan IPK 3,99. Dalam Sidang Promosi Doktor yang dilaksanakan di Gedung IASTH UI Kampus Salemba, pada Sabtu (31/12/22), Royke dikukuhkan sebagai doktor ke-61 di SIL UI dan ke-178 dalam Ilmu Lingkungan.
Sidang Promosi Doktor tersebut diketuai oleh Dr. dr. Tri Edhi Budhi Soesilo, M.Si. dengan Promotor Dr. Drs. Suyud Warno Utomo, M.Si. Pada kesempatan itu, Dr. Tri Edhi juga berperan sebagai Ko-Promotor bersama Dr. Hariyadi, S.IP., MPP. Adapun Tim Penguji dalam sidang terdiri atas Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si.; Prof. Dr. Yusthinus Male, S.Si., M.Si.; Prof. Dr. Kosuke Mizuno; Dra. Francisia Saveria, M.A., Ph.D.; dan Dr. Evi Frimawaty, S.Pt., M.Si.
Penulis: Humas SIL| Editor: Sasa