Depok, 21 Desember 2024. Prof. Dr. Dra. Ani Widyani, M.A. bersama Prof. Dra. F. Fentiny, M.A., Ph.D. dan Prof. Dr. Drs. Ricardi S. Adnan, M.Si. dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), pada Sabtu (21/12), di Makara Art Center (MAC) UI Kampus Depok. Pada pengukuhan yang dipimpin langsung oleh Rektor UI, Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU, tersebut, Prof. Ani ditetapkan sebagai guru besar ke-47 yang dikukuhkan tahun ini dari total 469 guru besar UI.
Prof. Ani merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Gender dan Hak Asasi Manusia dalam Hubungan Internasional. Dalam pidatonya yang berjudul “Hak Asasi Manusia, Gender dan Politik Global: Sebuah Perspektif Interseksionalitas”, ia menyoroti pentingnya interseksionalitas sebagai kerangka kerja baru dalam mengkaji keilmuan Hubungan Internasional (HI). Menurutnya, HI bukan hanya membahas faktor-faktor empiris yang kasat mata, tetapi juga faktor ideasional yang menyangkut norma, nilai, serta value yang tidak kasat mata.
“Benang merah pembahasan kajian hak asasi manusia, gender dalam hubungan internasional, politik internasional, politik global, dan politik dunia intinya bertumpu pada pembahasan mengenai aktor non-negara dan bagaimana keterkaitan antara aktor dengan proses politik global berjalan. Struktur politik global seperti apa yang membentuk dan dibentuk oleh keterkaitan antara aktor dan proses tersebut,” ujar Prof. Ani.
Ia juga menyebut bahwa mempelajari hak asasi manusia dan gender dalam HI adalah mempelajari manusia dan kemanusiaan yang tidak banyak dibahas dalam buku teks HI klasik yang dipelajari mahasiswa, bahkan tidak dirujuk oleh tokoh besar dalam disiplin keilmuan ini dan dianggap sebagai isu marginal. Oleh karena itu, analisis interseksional penting untuk memahami dinamika kekuasaan global memengaruhi individu dan kelompok tertentu secara berbeda.
Istilah “interseksionalitas” pertama kali diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw pada 1989. Konsep ini mengakui bahwa kehidupan seseorang dibentuk oleh identitas, hubungan, dan faktor sosial mereka. Kombinasi dari elemen-elemen ini menciptakan bentuk-bentuk privilese dan penindasan yang saling bersilangan, bergantung pada konteks serta struktur kekuasaan yang ada, seperti patriarki, ableisme, kolonialisme, imperialisme, dan rasisme. Interseksionalitas tidak hanya menjumlahkan identitas sosial—misalnya etnisitas dan gender—tetapi menegaskan bahwa dua atau lebih faktor saling membentuk satu sama lain.
Pendekatan interseksional menegaskan bahwa diskriminasi berbasis identitas sosial tidak dapat dilihat secara terpisah. Diskriminasi berbasis gender, misalnya, tidak selalu terjadi dalam ruang hampa, tetapi dapat diperkuat oleh identitas lain, seperti ras atau status sosial ekonomi. Diskriminasi yang dialami oleh perempuan kulit hitam dari kelompok sosial miskin mungkin berbeda dengan diskriminasi yang dialami oleh perempuan kulit putih dari kelas sosial yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pendekatan interseksional diperlukan untuk memastikan bahwa mereka yang paling tertinggal dapat dijangkau lebih dahulu.
Dalam konteks keilmuan HI, pendekatan interseksional perlu dikembangkan sebagai kerangka kerja baru karena dapat menangkap interaksi berbagai identitas dan dinamika kekuasaan global. Pendekatan ini tidak hanya relevan untuk analisa akademik, tetapi juga memiliki implikasi praktis untuk kebijakan internasional. Dengan mengadopsi perspektif interseksionalitas, pembuat kebijakan dapat merancang kebijakan yang lebih inklusif dan adil yang memperhitungkan kebutuhan, pengalaman individu dan kelompok yang sering diabaikan dalam wacana dominan.
“Pengembangan HI yang interseksional bukan hanya memperluas cakupan analisa kita, tetapi juga menantang struktur kekuasaan yang mendasari sistem internasional. Dengan mengakui keragaman pengalaman manusia dan bagaimana pengalaman itu dibentuk oleh berbagai faktor, pendekatan ini dapat membantu menciptakan dunia yang lebih adil dan setara. Perspektif interseksionalitas bukan sekadar tambahan dalam kajian HI, melainkan langkah penting menuju transformasi dalam cara kita memahami dan mengatur hubungan internasional,” kata Prof. Ani.
Penelitian Prof. Ani terkait interseksionalitas dalam kajian HI menunjukkan keahliannya dalam bidang tersebut. Sebelumnya, ia juga melakukan penelitian, di antaranya The Chinese Diaspora and It’s Identity in Southeast Asia: Research Notes From the Perspective of International Politics (2024); Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Hak-Hak Perempuan Papua dalam Perspektif Ekofeminisme (2024); serta Kebijakan Luar Negeri Feminis (FFP) dalam Kegiatan Diplomasi Indonesia (2023) yang mendapat Grant dari The Asia Foundation.
Sebelum dikukuhkan sebagai guru besar, Prof. Ani menamatkan pendidikan S-1 Ilmu Politik di UI pada 1985; S-2 International Studies, University of Washington, Seattle, Washington tahun 1989; dan S-3 Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran pada 2017. Selama periode 1996–1999, ia menjabat sebagai Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI, dan pada 2018, ia mendapatkan Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya XXX Tahun.
Upacara pengukuhan guru besar Prof. Ani turut dihadiri oleh para tamu undangan, antara lain Duta Besar Indonesia untuk Norwegia periode 2018–2023, Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M.; Menteri Koordinator Bidang Perekonomian periode 2001–2004, Prof. Dorodjatun Kuntjoro Jakti; Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Periode 2004–2009, Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono; dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Siti Musda Mulia.