iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Prof. dr. Anis Karuniawati Tekankan Pentingnya Pendeketan One Health untuk Kendalikan Resistensi Antimikroba

Depok, 11 November 2024. Universitas Indonesia (UI) menambah tiga nama guru besar yang dimilikinya, yakni Prof. dr. Anis Karuniawati, Sp.MK(K)., Ph.D; Prof. dr. Fera Ibrahim, M.Sc, Ph.D, Sp.MK(K); dan Prof. dr. Yusra, Sp.PK., SubSp.GEH(K)., Ph.D; melalui sidang terbuka yang dipimpin oleh Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A, Ph.D, di Kampus UI Salemba, Jakarta, Sabtu lalu (9/11/2024). Pada pengukuhan tersebut, Prof. dr. Anis Karuniawati menyampaikan pidato berjudul “Pengendalian Resistensi Antimikroba dengan Pendekatan One Health: Perlunya Terobosan Kebijakan dan Tata Kelola Antar Sektor di Tingkat Global dan Lokal”.

Prof. dr. Anis Karuniawati menyebutkan bahwa studi modelling yang dilakukan oleh Global Research on Antimicrobial Resistance (GRAM)I melaporkan bahwa I pada 2019, di Indonesia terdapat 444.800 kasus kematian akibat sepsis. Sebanyak 68% di antaranya disebabkan infeksi bakteri, dan 38% oleh bakteri resisten. Apabila dibandingkan dengan data pandemi Covid-19—terdapat 161. 930 kematian selama 3 tahun pandemi—maka data jumlah kematian akibat infeksi bakteri resisten tersebut sangat tinggi.

Bakteri resisten muncul akibat kondisi resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR), yakni saat mikroba tidak dapat dimatikan dengan antimikroba yang sebelumnya bisa mematikan. Sifat resisten bakteri terhadap suatu antibiotik adalah sifat alami akibat mutasi spontan atau berpindahnya materi genetik pembawa sifat resisten dari sel bakteri lain ke dalam sel bakteri tersebut. Resistensi dapat timbul terhadap satu jenis antibiotik (mono-resisten) atau beberapa antibiotik sekaligus, yang dikenal dengan multi-drugs resistant (MDR).

Menurut Prof. Anis, perkembangan dan penyebaran mikroba resisten obat dapat disebabkan oleh empat hal utama. Pertama, penggunaan antibiotik, swa-medikasi, dan faktor lain di komunitas. Kedua, penggunaan antibiotik dan faktor lain di fasilitas layanan kesehatan. Ketiga, penggunaan antibiotik pada produksi makanan, peternakan, dan pertanian. Keempat, terdapatnya bakteri atau mikroba lain yang resisten di lingkungan, yang merupakan akibat dari tiga faktor lainnya.

Untuk menangani hal tersebut, pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN-AMR) Periode 2017–2019 sesuai dengan rekomendasi Sidang Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly) ke-68 tahun 2017. RAN-AMR yang disusun dengan melibatkan banyak kementerian ini kemudian disahkan sebagai Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 dengan konsep “one health”.

Konsep “one world-one health” yang dipublikasikan sejak 2004 ini merupakan strategi global untuk menekankan pentingnya pendekatan yang holistik, trans dan inter-disipliner, serta menggabungkan keilmuan multisektor dalam menangani kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem. Dalam penerapannya, konsep “one health” harus melibatkan berbagai tingkat tata kelola kesehatan, mulai dari level global hingga lokal, dengan mendorong pendekatan partisipatif yang mempertemukan masyarakat, pakar ilmiah termasuk dalam bidang sosial, pemerintah, pemangku kepentingan lainnya, serta pihak industri dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Meskipun demikian, dalam kenyataan yang dihadapi oleh banyak negara, struktur pemerintah yang sektoral membatasi perkembangan pendekatan trans-disipliner dan aksi yang terintegrasi. Tantangan utama penerapan konsep one health adalah menghilangkan barrier interdisiplin antar keilmuan, dan untuk mengatasinya diperlukan data berbasis bukti tentang nilai tambah pendekatan one health. Hal ini menjadi tugas akademisi untuk membangun interaksi keilmuan sains dan sosial untuk mendorong manfaat integratif yang diharapkan dari konsep one health.

“Komitmen berbagai pihak sangat diperlukan dalam pelaksanaan program pengendalian AMR dengan pendekatan one health. Komitmen politik dan kepemimpinan pemerintah diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat. Komitmen penyediaan dana dan koordinator lintas sektor juga dibutuhkan untuk membangun rasa saling percaya, kepemilikan, dan kerja sama. Selain itu, implementasi RAN-AMR harus dihubungan dengan program di kementerian/lembaga, dan harus melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama mengingat Indonesia memiliki masyarakat yang sangat beragam adat dan budayanya,” ujar Prof. Anis.

Selain meneliti permasalahan resistensi antimikroba, ketertarikan Prof. Anis pada bidang bakteriologi juga terlihat pada riset yang dilakukan sebelumnya. Beberapa di antaranya adalah Multidrug-Resistant Bacteria Colonization in Patients Admitted to Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, Indonesia (2024); Antimicrobial Resistance among Common Bacterial Pathogens in Indonesia: A Systematic Review (2024); dan In Search of the Best Method to Detect Carriage of Carbapenem-Resistant Pseudomonas Aeruginosa in Humans: A Systematic Review (2024).

Prof. Anis menamatkan pendidikan dokter di FKUI pada 1990; lulus program doktor (Dr.sc.agr. setara dengan Ph.D) di Institut fȕr Umwelt-und Tierhygiene sowie Tiermedizin und Tierklinik, Universität Hohenheim, Stuttgart, Germany pada 2001; dan menyelesaikan program Spesialis Mikrobiologi Klinik di Kolegium Perhimpunan Mikrobiologi Klinik Indonesia pada 2001. Saat ini, ia menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Ventura, dan Administrasi Umum FKUI; Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), Kementerian Kesehatan; dan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI).

Related Posts