Depok, 18 Desember 2024. Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU, mengukuhkan Prof. Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Sanksi dan Restorative Justice, Fakultas Hukum (FH) UI, pada Rabu (18/12), di Balai Sidang UI Kampus Depok. Ia ditetapkan sebagai guru besar ke-44 yang dikukuhkan tahun ini dari total 468 guru besar UI, setelah menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Restorative Justice: Gerakan Sosial Masyarakat Global dalam Upaya Memulihkan Keadilan”.
Dalam pidatonya, Prof. Eva menyebut bahwa gerakan restorative justice yang muncul lebih dari setengah abad lalu, menjadi topik sentral masa depan hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Dalam beberapa tahun terakhir, konsep ini menjadi topik perdebatan tentang bagaimana masyarakat menanggapi kenakalan anak dan remaja, serta konflik yang terjadi di sekolah, lingkungan, dan tempat kerja. Bahkan, konsep ini diperbincangkan dalam diskusi tentang penanganan kejahatan domestik atau serius, seperti narkotika, korupsi, pelanggaran HAM berat dan terorisme.
Menurutnya, banyak penulis mencatat ratusan skema yang dikembangkan akademisi, penegak hukum dan pembuat kebijakan di seluruh dunia untuk mengadaptasi restorative ini dalam skema sistem peradilan. Gerakan sosial global ini memiliki keragaman internal yang besar karena setiap negara, wilayah, atau kelompok masyarakat memiliki kekhasan jenis konflik sosial yang terjadi dan pendekatan yang berbeda-beda.
Meski demikian, pandangan atas hadirnya gerakan restorative justice tidak selalu dinilai positif. Banyak keengganan dari masyarakat, penegak hukum, bahkan akademisi atas lahirnya gerakan ini sebagai alternatif penyelesaian masalah di masyarakat, khususnya terkait tindak pidana. Padahal, tujuan dari gerakan restorative justice adalah untuk mengubah cara pandang masyarakat kontemporer dalam memandang dan merespons kejahatan atau perilaku menyimpang lainnya.
“Restorative justice adalah sistem yang fleksibel dan tailor made approach to justice. Artinya, ini merupakan konsep ‘terbuka’ yang terus dikembangkan dalam mencari mekanisme penanganan perkara pidana, termasuk kualifikasi tindak pidana dan model penanganannya. Potensi trasformatif atas penerapannya di berbagai perkara memang akan mengejutkan banyak pihak, terutama pada jenis dan kualifikasi tindak pidana yang tidak terpikirkan sebelumnya,” ujar Prof. Eva.
Restorative justice mengingatkan pada kritik terhadap sistem peradilan pidana yang dianggap terlalu prosedural. Keadilan prosedural dalam praktek peradilan pidana dianggap terlalu terfokus pada prosedur hukum, bukan pada pencapaian keadilan yang memuaskan pihak-pihak terkait. Dalam hal ini, gerakan restorative justice berupaya mengganti sistem peradilan, sanksi pidana, dan pelaksanaan pidana yang berdasarkan pada keadilan reparatif berbasis komunitas serta kontrol sosial yang lebih manusiawi dan bermoral.
Prof. Eva memastikan bahwa restorative justice akan terus mengalami transformasi seiring perkembangan modus operandi, model kejahatan, serta perkembangan cara penanganannya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 2023, telah membuka jalan bagi penegak hukum untuk dapat meramu model sanksi yang tepat bagi pelaku tindak pidana dengan mengacu pada tujuan pemidanaan berbasis restorative justice. Sayangnya, pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dapat memberi ruang bagi model penanganan perkara pidana berbasis restorative justice masih menjadi pekerjaan rumah.
“Keadilan restoratif menjadi jawaban dari penyelesaian kasus hukum yang berkeadilan dan mampu meningkatkan kohesi sosial. Kita yang membangun Indonesia Emas melalui penguatan lembaga, penegakan hukum, pemulihan keadilan dan perdamaian, tidak hanya berkontribusi kepada bangsa dan negara, tetapi juga membantu dunia menjadi lebih baik, sebagaimana amanah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk menjalankan ketertiban dunia. Oleh karena itu, keadilan restoratif adalah kunci bagi keadilan sosial dan kohesi bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Prof. Eva.
Penelitian Prof. Eva terkait Restorative Justice menunjukkan keahliannya dalam bidang tersebut. Sebelumnya, ia juga melakukan penelitian dengan topik lain, di antaranya Unveiling Indonesia’s Migration and Border Governance: Challenges and Imperatives Post-Pandemic (2024); Fatwa Institutions in Handling Religious Blasphemy Crimes in Indonesia and Malaysia (2024); The Use of Physical Strength in Children’s Education: Learning from Indonesian Court’s Judgments (2024); dan Reversal Burden of Proof in Process of Proving Money Laundering Cases in Indonesia (2023).
Sebelum memperoleh gelar guru besarnya, Prof. Eva menamatkan pendidikan di UI untuk program Sarjana Hukum pada 1995, Magister Ilmu Hukum tahun 2002, dan Doktor Ilmu Hukum tahun 2009. Saat ini, ia menjabat sebagai Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Pascasarjana FHUI pada 2016–2017, serta Kepala Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian SKSG UI tahun 2017–2018.