id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Prof. Fentiny Nugroho Rekomendasikan Konsip Pentahelix Plus sebagai Upaya Menurunkan Kemiskinan di Indonesia

GURU BESAR UI PROF. FENTINY REKOMENDASIKAN KONSEP PENTAHELIX PLUS SEBAGAI UPAYA MENURUNKAN KEMISKINAN DI INDONESIA

Depok, 21 Desember 2024. Universitas Indonesia (UI) mengukuhkan Prof. Dra. F. Fentiny Nugroho, M.A., Ph.D., sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) pada Sabtu (21/12) di Makara Art Center, Kampus UI Depok. Pada pengukuhan yang dipimpin oleh Rektor UI Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU., ini, Prof. Fentiny menyampaikan pidato pengukuhannya yang berjudul “Kebijakan Global dan Penanggulangan Kemiskinan Melalui Kolaborasi Pentahelix”.

Dalam pidato pengukuhannya tersebut, Prof. Fentiny membahas terkait dengan isu kemiskinan di Indonesia yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Isu kemiskinan merupakan sebuah tantangan bagi Indonesia dalam perjalanan untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045 dan dalam mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 1, yaitu No Poverty.

Lebih lanjut ia mengatakan, masalah kemiskinan merupakan “multi-faceted” hal yang umum terjadi di berbagai negara namun kompleksitasnya berbeda. Di negara maju, kemiskinan cenderung hanya melibatkan sebagian kecil dari masyarakat, sementara di negara berkembang, angka kemiskinan adalah masif, kerapkali melibatkan hampir setengah atau lebih dari jumlah penduduknya.

Prof. Fentiny mengatakan, kemiskinan semakin memprihatinkan dengan adanya kebijakan global, seperti perdagangan bebas (free-trade). Kebijakan global tersebut telah menjadi fenomena umum di seluruh dunia. Banyak pihak yang optimistik bahwa perdagangan bebas akan menimbulkan kemakmuran, namun banyak pihak juga yang mengamati bahwa perdagangan bebas dapat menimbulkan kemiskinan, khususnya bagi kelompok marginal di negara-negara berkembang, terutama karena ketidaksiapan negara berkembang dalam memasuki era perdagangan bebas yang sangat kompetitif.

Ia menambahkan, perdagangan bebas dapat berkontribusi positif dalam pertumbuhan ekonomi negara maju, tetapi untuk negara berkembang, mereka memiliki keterbatasan dalam aspek sumber daya manusia dan ekonomi untuk dapat menjalankan perdagangan bebas secara tepat sasaran. Untuk menganalisis hal ini, meminimalisir dampak negatif dari perdagangan bebas sangat dibutuhkan bagi negara berkembang, khususnya Indonesia.

Tidak hanya secara teori, Prof Fentiny juga memakai ilustrasi kasus untuk dapat menggambarkan isu kemiskinan dan perdagangan bebas, yaitu terkait dengan barang dan bahan pokok impor yang membanjiri Indonesia. Pasukan bahan pangan impor ini membuat harga bahan pangan menjadi meningkat, misalnya komoditas apel dan kentang. Pada akhirnya, perdagangan bebas yang diharapkan menjadi kebijakan yang tepat untuk peningkatan ekonomi, menjadi kontradiktif dengan realita yang dihadapi di lapangan.

Selain itu, isu perdagangan bebas merupakan isu kolektif yang menjadi isu global saat ini, yang termasuk Hak Asasi Manusia (HAM) generasi ketiga. Prof. Fentiny menyampaikan bahwa jika masyarakat semakin miskin karena perdagangan bebas karena ketidaksiapan berkompetisi secara global, maka ini adalah pelanggaran HAM generasi ke tiga. Sebagaimana yang dinyatakan dalam HAM generasi ke tiga, yaitu masyarakat seharusnya mempunyai hak untuk memperoleh manfaat dari perdagangan dunia dan pertumbuhan ekonomi.

Melihat semua isu terkait dengan kemiskinan, HAM, dan perdagangan bebas yang saling berkaitan, Prof. Fentiny menawarkan kolaborasi pentahelix sebagai solusi dari dampak negatif perdagangan bebas di Indonesia. Menurutnya, pembentukan komite nasional yang berfokus menangani masalah perdagangan bebas sangat diperlukan untuk mengatasi isu perdagangan bebas, dan dapat menangani masalah tersebut dari aspek internal, misalnya terkait dengan produk ekspor, dan eksternal, yang berkaitan dengan produk impor, serta mengawal implementasi kebijakan yang berasal dari World Trade Organization (WTO), agar tidak merugikan Indonesia dalam aspek ekonomi.

Komite Nasional ini juga diharapkan dapat menggunakan Strategi Pembangunan Sosial dengan tiga aspek, yaitu individu, masyarakat, dan pemerintah. Strategi ini juga dapat digunakan kepada lima pilar, yaitu pemerintah, akademisi, dunia bisnis, masyarakat, dan media. Dalam menjalankan tugasnya Komite Nasional harus melaksanakan misinya secara holistik, dengan mencakup pengembangan kapasitas secara individu, ekonomi, sosial, budaya, serta lingkungan.

Namun mengingat isu penanggulangan kemiskinan ini adalah isu global, Prof. Fentiny mengatakan bahwa sebaiknya terdapat satu elemen lagi yang perlu ditambahkan pada pentahelix tersebut, yaitu Lembaga/ Non Governmental Organization (NGO) internasional, yang mempunyai keberpihakan pada negara berkembang dalam konteks perdagangan bebas. NGO ini mengadakan penelitian untuk menunjukkan data berbasis bukti. Disamping itu, NGO internasional tersebut dapat mendampingi dan membantu melakukan advokasi ke negara-negara maju dan WTO

Oleh karena itu, Prof. Fentiny merekomendasikan, yang diimplementasikan dalam penanggulangan kemiskinan sebagai dampak kebijakan global (free-trade policy), bukan hanya pentahelix, tetapi pentahelix plus. “Pentahelix Plus akan memperkuat Indonesia dalam memperoleh manfaat dari perdagangan bebas, dan semoga kelak angka kemiskinan kita dapat menurun hingga mencapai angka ‘no poverty’ seperti yang digariskan dalam SDGs,” ujar Prof. Fentiny.

Sampai dengan saat ini, Prof. Fentiny aktif melakukan berbagai penelitian, di antaranya Kekerasan Terhadap Perempuan Pekerja Migran di Taiwan (2023); Pemenuhan Hak Asasi Manusia Generasi Kedua pada Kelompok Masyarakat Termarginal (2018); Assessment and Intervention on Child Abuse: Kindship Guardianship (2018-2019); dan Dampak Positif Perdagangan Bebas Global pada Petani Ikan Hias di Depok, Jawa Barat (2016).

Sebelum memperoleh gelar guru besar dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial, Prof. Fentiny menamatkan pendidikan program Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial pada tahun 1985 di UI. Kemudian, ia menyelesaikan pendidikan di University of Kent, England, dalam bidang Social Work pada 1989. Pada 2005, ia berhasil meraih gelar Doctor of Philosophy di Curtin University, Australia dalam bidang Social Work and Social Policy.

Dalam prosesi pengukuhannya sebagai guru besar ke-46 UI yang dikukuhkan pada tahun ini, turut hadir Ketua Komnas HAM RI Dr. Atnike Nova Sigiro, M.Sc.; PJ. Gubernur Jawa Timur Adhy Karyono, A.Ks., M.A.P.; Pj. Bupati Tangerang Dr. Drs. Andi Ony Prihartono, M.Si.; Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS Drs. Pungky Sumadi, MCP, Ph.D.; Kepala Pusat Pelatihan SDM Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Desa PDTT RI Dr. Fujiartanto, MM, M.Si, MA.; dan Direktur Kawasan Perkotaan dan Batas Negara, Kementerian Dalam Negeri RI Dr. Drs. Amran, M.T.

Related Posts