Prof. Fitra Arsil Sampaikan Orasi Pengukuhan Guru Besarnya Tentang Diversifikasi Kekuasaan Legislasi
Depok, 8 Mei 2024. Universitas Indonesia (UI) mengukuhkan Prof. Dr. Fitra Arsil, S.H., M.H., sebagai guru besar dalam guru besar tetap bidang Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum (FH) UI, di Balai Sidang, Kampus UI Depok, pagi tadi (Rabu, 8/5). Upacara pengukuhan dipimpin oleh Rektor UI Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D. Prof. Fitra menyampaikan pidato pengukuhan berjudul “Diversifikasi Kekuasaan Legislasi: Fenomena Pelemahan Parlemen, Superioritas Presiden, dan Eskalasi Yudisialisasi Politik”.
Prof. Fitra mengatakan, saat ini kekuasaan legistlatif nampaknya sudah mengalami pergeseran secara radikal. Ia bukan saja bertugas melaksanakan undang-undang, tetapi juga menyusun konsepsi dan formulasi undang-undang yang akan diterbitkan. Dilengkapi pula oleh kekuasaan reaktif untuk menolak rancangan undang-undang yang dibahas di parlemen bahkan lebih jauh lagi, eksekutif dengan semakin meningkatnya president’s legislative power, juga memiliki kekuasaan yang proaktif untuk mengendalikan agenda legislasi di parlemen.
Lebih lanjut ia menyampaikan, ketika kekuasaan presiden di bidang legislatif (president’s legislative power) itu dimiliki oleh seorang presiden dengan dukungan mayoritas di parlemen (partisan power), maka nampak parlemen seperti mendelegasikan kekuasaan legislasinya kepada kekuasaan eksekutif. “Di sisi lain disebutkan juga bahwa kekuasaan yudisial modern terlibat jauh dalam policy making, bukan saja sekadar menangani sengketa. Kekuasaan yudisial kini alih-alih membawa isu diintervensi malah sebaliknya, kekuasaan kehakiman menjadi pihak yang mengintervensi kekuasaan pembentuk undang-undang,” ujar Prof. Fitra.
Kekuasaan presiden di bidang legislatif sangat besar dan jenis kekuasaanya juga sangat beragam. Ketika kekuasaan besar dan beragam tersebut bertemu dengan partisan power yang tinggi maka risiko dominasi kekuasaan eksekutif yang stabil, minim kontrol dan memimpin agenda di parlemen menjadi kenyataan yang mesti diterima. Jika situasi tersebut bergabung lagi dengan realitas kekuasaan kehakiman yang mengintervensi kebijakan publik dan merepresentasikan kelompok politik, maka dominasi kekuasaan politik pemenang menjadi absolut dan tidak terhindarkan.
“Merekomendasikan melakukan perubahan pengaturan memang menjadi pilihan yang nampak mudah disebut, namun gagasan perubahan pengaturan haruslah berasal dari gagasan konseptual yang komprehensif. Gagasan pemisahan kekuasaan seharusnya harus disebutkan masih relevan untuk tetap dipertahankan. Penyimpangan dari gagasan ini harus dibuktikan dalam kerangka tetap mempertahankan mekanisme saling kontrol dan saling membatasi sehingga relasinya tetap kritis,” kata Prof. Fitra.
Oleh karena itu, karakter khas setiap lembaga harus dipertahankan dan tidak boleh tertukar. Betapapun peran lembaga peradilan tidak terelakkan untuk berperan dalam pembentukan kebijakan publik, namun perlu dipahami proses pembentukan kebijakan publik di lembaga peradilan harus berbeda dengan yang terjadi di parlemen.
Menurut Prof. Fitra, relasi antara kebutuhan konstituen dan pembentuk undang-undang memiliki dua sisi mata uang yang menarik untuk dikaji. Di satu sisi pembentuk undang-undang akan berupaya mendengarkan dan menyerap aspirasi konstituen untuk diwujudkan dalam peraturan perundangan.
Di sisi lain, pembentuk undang-undang juga akan mengabaikan aspirasi masyarakat lain yang bukan konstituennya. Polarisasi seperti ini, merupakan ciri yang sangat wajar dalam proses pembentukan undang-undang. Terdapat isu keberpihakan pada kelompok pengusung (konstituen) dalam negoisasi pengesahan undang-undang. Hal inilah yang membuat produk dari legislasi berpotensi hanya mementingkan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa proses pembentukan undang-undang yang dilakukan oleh legislatif tidak semata-mata untuk kepentingan semua warga negara, melainkan untuk kepentingan konstituen dan kampanye politiknya. Hal inilah yang menyebabkan luaran dari undang-undang boleh jadi bernuansa one sided interest.
“Karakter proses pembentukan undang-undang dan lembaga legislatif sebagai pembentuknya ternyata sangat berbeda dengan karakter lembaga kekuasaan kehakiman yang berhak melakukan pengujian terhadap produk legislatif atau yudisialisasi politik. Dalam Bangalore Principles of Judicial Conduct disebutkan enam prinsip yang harus dimiliki oleh kekuasaan kehakiman, yaitu independensi (independence), ketidakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan sopan santun (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keseksamaan (competence and diligence),” ujar Prof. Fitra.
Sampai dengan saat ini, Prof. Fitra aktif menghasilkan karya ilmiahnya yang telah diterbitkan di berbagai jurnal nasional maupun internasional. Beberapa publikasi ilmiah tersebut, di antaranya Law Making Activities during Lame Duck Sessions in Indonesia 1997–2020 (2023); Sistem Parlementer Indonesia Kajian Pemberlakuan Sistem Parlementer di Indonesia (2023); Ministerial Authority in Formulating Regulations Related to Presidential Lawmaking Doctrine (2023); dan The disappearance of the ‘legislative model’: Indonesian Parliament’s Experience in Response to Covid-19 (2022).
Prof. Dr. Fitra Arsil, S.H., M.H., menamatkan pendidikan sarjana hingga doktor di FHUI. Pada tahun 2000 ia mendapatkan gelar sarjana hukum, kemudian pada 2004 ia menyelesaikan program pascasarjana, dan pada 2015 ia berhasil meraih gelar doktor. Pada pengukuhannya ini, bertepatan dengan Peringatan Seratus Tahun FHUI. Hal ini tidak hanya menegaskan komitmen penuh FHUI dalam memajukan pendidikan dan penelitian hukum, tetapi juga menjadi simbol penting dalam sejarah panjang institusi ini dalam mengembangkan ilmu hukum di Indonesia.
Turut hadir di antara para tamu undangan, yaitu Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) Rahmat Bagja, SH. LL. M.; Komisioner komisi yudisial Binziad Kadafi, S.H., LL.M., Ph.D.; Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Drs. H. Tamsil Linrung; Duta Besar Indonesia untuk Libanon Dr. H. Hajriyanto Y. Thohari, M.A.; Anggota DPD RI DKI Jakarta sekaligus Guru Besar FHUI Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H.; Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A.; Guru Besar FH Universitas Muhammadiyah Surakarta Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum.; dan Guru Besar FH Universitas Padjadjaran Prof. Susi Dwi Harjanti, SH., LL.M, Ph.D.