Pada pengukuhan sebagai guru besar Fakultas Psikologi (FPsi), Universitas Indonesia (UI), pagi tadi (Sabtu, 16/12), Prof. Dr. Mirra Noor Milla S.Sos., M.Si. memaparkan hasil studi yang dilakukannya dalam pidato berjudul “Aplikasi Psikologi Sosial dalam Kajian Radikalisasi dan Terorisme: Upaya Prevensi dan Rehabilitasi”. Ia menjelaskan tentang peran motivasi, ideologi dan kelompok dalam radikalisasi, serta implementasinya pada intervensi psikologi, baik sebagai upaya prevensi maupun rehabilitasi radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Prof. Mirra mengatakan, selama lebih dari 20 tahun sejak serangan Bom Bali yang terjadi pada tahun 2002, permasalahan terorisme di Indonesia hingga hari ini masih terus berlanjut. Walaupun, berdasarkan data Global Terrorisme Index dari tahun 2021-2022 (GTI Report, 2023), secara keseluruhan di wilayah Asia Selatan, Indonesia menjadi salah satu negara yang menunjukkan dampak penurunan kerusakan akibat terorisme dibandingkan tahun 2021.
Ia menambahkan, konsensus peneliti dalam topik ini menyatakan tidak ditemukan satu profil tunggal untuk menjelaskan terorisme. Kebanyakan ekstremis berasal dari orang biasa dalam populasi umum tanpa adanya diagnosis gangguan mental. Terorisme merupakan hasil dari proses radikalisasi, yaitu proses bertahap yang menuju pada penguatan dukungan terhadap kekerasan ekstrem. Tahapan ini juga diobservasi pada pelaku Bom Bali, diawali dari individu terpapar dengan lingkungan yang mendukung keyakinan ekstrem (pra-radicalization) dan mengarahkan pada identifikasi diri dengan kelompok yang memiliki entitativitas tinggi (self-identification).
Kelompok tersebut menjadi sumber utama nilai diri serta validasi (commitment), yang menyediakan justifikasi (indoctrination) dan mengarah pada satu tujuan utama, yaitu jihad (jihad ideologization). Proses radikalisasi ini juga ditunjukkan memiliki dasar psikologis dalam setiap tahapannya, yakni proses yang dimotivasi oleh kebutuhan mendapatkan signifikansi diri melalui transformasi identitas, kemudian dikuatkan dalam proses kelompok untuk melayani tujuan tunggal pemenuhan makna diri dan kelompoknya.
Menurut Prof. Mirra, terorisme merupakan fenomena yang kompleks dan memerlukan pemahaman lintas disiplin ilmu, termasuk di dalamnya Ilmu Psikologi khususnya Psikologi Sosial. Ilmu ini menyajikan suatu kerangka analisis baik pada tingkat individu maupun kelompok, untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana individu terlibat dalam tindakan terorisme. Banyak ahli ilmu sosial menggambarkan terorisme sebagai suatu proses bertahap radikalisasi.
Dalam menjelaskan radikalisasi terdapat tiga komponen, yaitu kebutuhan yang memotivasi individu, narasi ideologi yang menjustifikasi, dan kelompok atau jejaring sosial yang memvalidasi. Penjelasan tahapan radikalisasi perlu ditinjau kembali dalam menjelaskan radikalisasi online, mengingat di era informasi digital proses radikalisasi menjadi lebih cepat dan mencakup kelompok individu yang semakin beragam. Oleh karena itu, penjelasan faktor personal memiliki relevansi untuk memahami secara lebih baik bagaimana radikalisasi terjadi saat peran kelompok terbatas.
Untuk itu, memahami proses radikalisasi adalah kunci untuk merinci kemungkinan jalur deradikalisasi yang dapat diambil. Evaluasi efektivitas program rehabilitasi teroris di berbagai negara menunjukkan keragaman dan belum mencapai kesimpulan yang pasti. Tantangan utamanya terletak pada sifat keyakinan ideologi ekstrem yang sulit untuk diubah. Walaupun demikian, beberapa program telah menunjukkan kemajuan dan potensi keberhasilan. Kombinasi antara program kontra-ideologi dan program dukungan psikologi adalah yang paling menjanjikan hingga saat ini.
Kesulitan dalam menggeser atau mengubah keyakinan ekstrem yang termotivasi mengarahkan pada relevansi upaya prevensi, yaitu dengan memutus mata rantai radikalisasi bagi individu yang rentan sebelum terpapar dan terlibat dalam tindakan kekerasan ekstrem. Selain itu, dengan memperkuat ketahanan individu terhadap propaganda ekstremisme dan radikalisme. Pada tingkat komunitas, pencegahannya dapat diwujudkan melalui upaya menghindari polarisasi antarkelompok, mengingat masyarakat yang terpolarisasi dapat menyuburkan penyebaran narasi ekstrem dan menjadi potensi risiko bagi individu yang rentan.
Pada acara pengukuhan Prof. Mirra yang dilaksanakan di Balai Sidang UI itu tampak hadir para undangan, mulai dari Research Professor dan Chairman of the Institute of Social Sciences and Humanities (ISSH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, M.A.; Direktur Strategi and Sustainability PT Perkebunan Nusantara IV Ugun Untaryo, ST, MBA.; Ketua Himpunan Psikologi Indonesia Dr. Andik Matulessy, M.Si, Psikolog.; dan Wakil Rektor Bidang Hukum, Kerjasama, Humas dan Ventura Universitas Pancasila Dra. Diennaryati Tjokrosuprihatono, M.Psi., Psikolog.
Prof. Mirra menamatkan pendidikan sarjana ilmu komunikasi massa di Universitas Sebelas Maret Surakarta, pada 1996. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan S2 dan S3 Ilmu Psikologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan lulus pada 1999 dan 2009. Beberapa karya ilmiahnya yang telah dipublikasikan, di antaranya berjudul Identifying important individual- and country-level predictors of conspiracy theorizing: A machine learning analysis (2023); Mechanisms of 3n model on radicalization: testing the mediation by group identity and ideology of the relationship between need for significance and violent extremism. studies in conflict and terrorism (2022); dan Predictors of adherence to public health behaviors for fighting COVID-19 derived from longitudinal data (2022).