id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Revisi UU ITE: Memerdekakan atau Membelenggu?

shutterstock_215226196

Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) nomor 11 tahun 2008 telah disahkan oleh DPR pada 27 Oktober 2016 lalu.

Terdapat beberapa poin yang direvisi, antara lain penambahan sejumlah penjelasan untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik pada Pasal 27 ayat 3; penambahan Right To Be Forgotten (Hak untuk Dilupakan), yaitu kewajiban menghapus konten yang tidak relevan bagi penyelenggara sistem elektronik; dan penurunan ancaman pidana pencemaran nama baik, dari paling lama 6 tahun menjadi 4 tahun dan denda dari Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta.

Ketiga poin revisi ini dibahas dalam diskusi berjudul “Revisi Undang-Undang ITE: Memerdekakan atau Membelenggu?” yang digelar oleh Kelas Kebijakan dan Regulasi Media, Program Sarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI.

Menurut South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sebanyak 215 orang telah terjerat UU ITE sejak pertama kali disahkan pada tahun 2008 hingga November 2016. Dari keseluruhan pasal, kasus gugatan terbanyak (90%) adalah pasal 27 ayat (3) yang mengatur tentang pencemaran nama baik.

Diskusi yang berlangsung pada Selasa (6/12/2016) di Auditorium Gedung Komunikasi FISIP UI ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu Dr. Evita Nursanty, M.Sc. (Anggota Komisi I DPR RI), Damar Juniarto (Aktivis Koordinator Kawasan SAFEnet), dan Dr. Irwansyah, S.Sos., M.A. (Dosen Ilmu Komunikasi UI).

Menurut Evita, revisi UU ITE ini cukup memerdekakan karena penurunan ancaman hukuman terhadap Pasal 27 ayat (3) menjadi 4 tahun membuat aparat penegak hukum hanya boleh menangkap pelaku melalui keputusan dari pengadilan. Sebelum direvisi, aparat penegak hukum dapat langsung menangkap pelaku karena ancaman hukuman 6 tahun.

Selain itu, penambahan pasal tentang Right To Be Forgotten juga dianggap dapat mengembalikan hak privasi individu yang dirugikan dengan informasi yang beredar di internet.

Melalui keputusan pengadilan, seseorang dapat meminta mesin pencari untuk menghapus informasi tentang dirinya. “Kita adalah satu-satunya negara yang mengakui hak ini di kawasan Asia,” tutur Evita.

Sayangnya, menurut Damar, Right To Be Forgotten yang dicantumkan dalam UU ITE ini masih menjangkau informasi yang dimuat oleh mesin pencari, seperti Google, dan belum mampu menjangkau keseluruhan informasi di internet.

“Di dunia maya, informasi itu dapat terduplikasi dengan sangat cepat. Penghapusan dari satu mesin pencari tidak akan menjamin informasi benar-benar hilang,” kata Damar. Lebih lanjut ia menjelaskan, pihak Google pun masih kesulitan untuk menjalankan putusan pengadilan Argentina dan Uni Eropa terkait hak ini.

Secara keseluruhan, Damar menganggap UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (3) masih berpotensi untuk digunakan sebagai sarana pembungkaman kritik. Dari data yang dikumpulkan SAFEnet, 50% pelapor adalah pejabat publik yang melaporkan warga biasa.

Ia mencontohkan kasus Yusniar di Makassar yang terjerat pasal ini hanya karena membuat status tanpa pencantuman nama (no-mention) tentang salah satu anggota DPRD di Facebook. “Jika ditanya, apakah UU ini memerdekakan atau membelenggu, maka bagi saya UU ini masih memerdekakan penguasa dan membelenggu warga,” ujar Damar.

Penulis: Dara Adinda Kesuma Nasution

Related Posts