Depok, 23 April 2025. Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU, mengukuhkan Prof. Dr. dra. Retno Kusumastuti Hardjono, M.Si. sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Administrasi Niaga, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UI, pada hari ini Rabu (23/4), di Makara Art Center UI Kampus Depok. Ia ditetapkan sebagai guru besar ke-26 yang dikukuhkan tahun ini dari 427 guru besar UI.
Dalam orasi ilmiah berjudul “Indonesia’s Renaissance: Ketika Social and Cultural Innovation Membangun Masa Depan Bangsa Tanpa Melupakan Kearifan Lokalnya”, ia mengulas peran inovasi sosial dan budaya dalam membangun bangsa dengan memanfaatkan kearifan lokal. Menurutnya, terminologi “Indonesia’s Renaissance” menggambarkan kebangkitan nilai sosial dan budaya dalam bentuk gagasan inovatif yang mendorong transformatif lintas sektoral dan mutidisiplin.
Inovasi sosial di Indonesia tidak lepas dari kearifan lokal sosial dan budaya, melahirkan praktik baru yang memperkuat kohesi, sosial, dan keberagaman. Inovasi ini bersifat khas, memiliki kontekstual yang dikenal kadang-kadang sebagai Indigenous Social Innovation atau Social Cultural Innovation yang mencerminkan pergeseran dari pendekatan negara ke partisipasi masyarakat secara aktif. Inovasi sosial merupakan wujud kreativitas manusia dalam menjawab tantangannya serta merupakan solusi dan relevan sebagai strategi yang adaptif bagi masyarakat untuk membangun masa depan bangsa yang lebih adil, sejahtera, dan tangguh.
“Inovasi sosial dan budaya bersifat lintas sektor, multidisiplin, bahkan sangat kuat, tetapi memiliki kekhasan karena lahir dari batasan antara sektor publik dan sektor swasta, juga sektor masyarakat, sehingga mengambil peran dalam bentuk misalnya social enterprise maupun kemitraan publik dan swasta,” kata Prof. Retno.
Berdasarkan banyak literatur, kapasitas sosial inovasi Indonesia dan seluruh dunia ditentukan oleh empat hal, yakni dukungan kebijakan, pendanaan, partisipasi masyarakat, dan semangat kewirausahaan. Semua faktor ini saling berkelindan dan merupakan fungsi dari efektivitas social innovation dalam satu tempat atau negara. Indonesia memiliki potensi yang kuat dan merupakan peringkat 18 dari 45 negara, namun tantangan utama di Indonesia sering kali berkutat di masalah pendanaan.
Penelitian yang dilakukan Prof. Retno menunjukkan bahwa ciri khas inovasi sosial di era abad 21 bersifat bottom-up, berbasis lokal, bersifat kolaboratif, sehingga membentuk community of innovation, menggunakan model hybrid yang tidak hanya profit seeking, tetapi juga berbasis kemanusiaan. Semua ini menegaskan bahwa inovasi sosial sejatinya tumbuh dari budaya dan berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Ia menuturkan, “Banyak sekali contoh tentang inovasi sosial-budaya di Indonesia, misalnya di Bali kita mengenal sistem irigasi bernama Subak, kemudian di Yogyakarta kita mengenal budaya wayang yang sudah menggunakan teknologi elektronik, sehingga bisa disaksikan di berbagai belahan dunia.
Selain itu, pemberdayaan perempuan di daerah Dayak dan 90% wilayah Indonesia yang menghasilkan berbagai kain tenun yang indah. Semua itu merupakan bentuk-bentuk kekuatan lokal yang menjadi ciri khas utama sebuah inovasi dan bahkan menjadi keunggulan bersaing.”
Semua bentuk inovasi ini bisa menjadi berkelanjutan dengan memperhatikan bahwa keberadaan proses dan juga pelaksanaannya menciptakan siklus belajar yang berbasis system thinking, sehingga diharapkan inovasi sosial tidak hanya bersifat sesaat, tetapi merupakan inovasi yang berkelanjutan. Untuk itu, inovasi sosial-budaya yang ada di Indonesia semestinya menggunakan kerangka dari tiga aspek yang mengakomodasi people (manusia dan keadilan sosial), planet (lingkungan hidup), dan profit (ketahanan ekonomi) untuk menjawab kebutuhan jangka panjang.
Inovasi sosial memiliki empat pendekatan, yakni berbasis manusia, berbasis lokasi, didorong kemitraan, dan kepedulian lingkungan. Untuk memperkuatnya, Prof. Retno merekomendasikan tiga hal. Pertama, pemerintah sebagai aktor utama yang memiliki wewenang harus mendorong kolaborasi antar-aktor. Kedua, memperkuat kapasitas lokal melalui pelatihan dan intervensi teknologi. Ketiga, adanya kebijakan publik yang berbasis riset agar berdampak berkelanjutan. “Di situlah peran dari akademisi atau universitas. Jadi, inovasi sosial dan budaya bukanlah hal baru. Ia tumbuh dari pengetahuan lokal yang hidup bersama masyarakat dan mengarahkan perubahan menjadi lebih adil dan berkelanjutan,” ujarnya.
Penelitian Prof. Retno terkait inovasi sosial dan budaya menunjukkan keahliannya di bidang tersebut.
Beberapa penelitian terkait yang pernah dilakukan, antara lain Community Empowerment Utilizing Open Innovation as a Sustainable Village-Owned Enterprise Strategy in Indonesia: A Systematic Literature Review (2025); Recalibrating Village Governance in Managing Sustainable Development in Rural Area (2025); Achieving Sustainable Competitiveness of Tourism Dynamics with Resource-Based View (2024); dan Understanding Rural Context in the Social Innovation Knowledge Structure and Its Sector Implementations (2023).
Sebelum dikukuhkan sebagai guru besar, menamatkan pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) untuk program S1 Ilmu Administrasi Fiskal pada 1994; S2 Ilmu Administrasi Bisnis tahun 2004; dan S3 Ilmu Administrasi pada 2013. Ia melanjutkan pendidikan Post-Doctoral Entrepreneurhip Development Institute, Ahmedabad, India tahun 2014 dan Post-Doctoral National Graduates Institute for Policy Studies, (GRIPS) Tokyo, Japan pada 2015. Saat ini, ia menjabat sebagai Dekan FIA UI untuk periode 2025–2029 dan Anggota Senat FIA UI tahun 2023–2029.