id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Akibat Mutasi Virus RNA

Depok, 11 November 2024. Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D, mengukuhkan Prof. dr. Fera Ibrahim, M.Sc, Ph.D, Sp.MK(K) sebagai Guru Besar dalam Bidang Virologi, Fakultas Kedokteran UI, pada Sabtu (9/11), di Aula IMERI FKUI Salemba. Di kesempatan tersebut Prof. Fera menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Potensi Virus RNA sebagai Ancaman Penyakit Emerging dan Reemerging: Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi”.

Virus RNA adalah virus yang mengandung materi genetik RNA (asam ribonukleat) dan menjadi penyebab utama berbagai penyakit menular yang baru serta berbahaya. Virus ini dapat berubah atau bermutasi, sehingga mudah berkembang, beradaptasi, dan menyebar ke manusia.

Penyakit menular yang disebabkan oleh virus RNA, kata Prof. Fera, memerlukan perhatian global, karena setiap tahun diperkirakan muncul dua virus RNA baru yang berpotensi menjadi ancaman.

Perubahan atau mutasi pada virus RNA dapat menyebabkan munculnya penyakit baru yang belum pernah ada sebelumnya (penyakit emerging) seperti Covid-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2; atau penyakit yang muncul kembali (penyakit reemerging) seperti tuberkulosis dan campak. Mutasi ini sering terjadi selama proses replikasi virus karena adanya kesalahan saat menggandakan materi genetiknya.

Mutasi pada virus RNA memiliki banyak dampak. Pertama, perubahan sifat virus. Mutasi menyebabkan perubahan pada protein virus, sehingga virus lebih menular atau lebih berbahaya bagi manusia. Kedua, resistensi terhadap obat. Virus menjadi kebal terhadap obat-obatan tertentu yang sebelumnya efektif untuk pengobatan, sehingga mengurangi efektivitas pengobatan yang tersedia. Ketiga, mutasi membantu virus menghindari deteksi sistem kekebalan tubuh manusia yang membuatnya lebih sulit untuk dilawan.

Untuk menangani ancaman tersebut, Prof. Fera membagikan langkah pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan organisasi kesehatan. Para ahli dapat mendeteksi mutasi baru pada virus yang berpotensi berbahaya dengan melakukan pengawasan rutin terhadap genom virus. Pendekatan One Health juga diperlukan karena beberapa penyakit pada manusia berawal dari hewan, misalnya flu burung dan Ebola.

Selain itu, kolaborasi riset internasional harus dilakukan untuk mempercepat respons terhadap penyebaran penyakit serta dalam pengembangan vaksin dan peralatan medis. Menurutnya, langkah ini perlu dilakukan mengingat vaksin dan sistem deteksi memainkan peran penting dalam mencegah penyebaran penyakit menular yang disebabkan oleh virus RNA.

Pengembangan vaksin secara cepat selama pandemi membantu mengurangi angka infeksi Covid-19. Selain itu, sistem deteksi yang cepat dan akurat memudahkan dalam mengidentifikasi dan mengisolasi kasus positif, sehingga mencegah penyebaran lebih lanjut. Upaya tersebut diperlukan untuk meningkatkan efektivitas vaksin dan alat deteksi yang mampu mendeteksi berbagai jenis virus.

“Pandemi Covid-19 telah memberikan pelajaran berharga bagi kita tentang pentingnya persiapan dalam menghadapi penyakit menular. Dengan adanya pengawasan genetik, kerja sama internasional, dan inovasi dalam produksi vaksin serta alat deteksi, kita dapat lebih siap menghadapi ancaman penyakit menular baru. Masyarakat juga diharapkan terus menjaga kesehatan dan kebersihan, serta mendukung program kesehatan yang disediakan oleh pemerintah untuk mencegah penyebaran penyakit menular,” ujar Prof. Fera.

Penelitian Prof. Fera terkait upaya pencegahan dan pengendalian penyakit akibat mutasi virus RNA menunjukkan kepakarannya dalam bidang virologi. Sebelumnya, ia juga meneliti beberapa topik lain, seperti Genetic and Phenotypic of Pseudomonas Aeruginosa Sensitive to Meropenem Antibiotics after Exposure to Meropenem (2024); Hearing Instability and Abnormal Auditory Pathways in Infants with Congenital Cytomegalovirus Infection: An Audiological and Radiological Single-Centre Prospective Cohort Analysis (2024); dan Dry Eye Symptoms are Prevalent in Moderate-Severe Covid-19, while Sars-Cov-2 Presence is Higher in Mild Covid-19: Possible Ocular Transmission Risk of Covid-19 (2024).

Prof. Fera menamatkan pendidikan Dokter Umum di FKUI pada 1986. Berikutnya, ia menempuh pendidikan di University of Lyon I, France, untuk Maitrise de Sciences Biologiques et Medicales (MSBM) General and Systematic Virology dan MSBM Immunology and Immunopathology pada 1990; Master of Science tahun 1991; serta pendidikan doktornya pada 1995. Ia menyelesaikan pendidikan Spesialis Mikrobiologi Klinik (2001) dan Spesialis Mikrobiologi Klinik, Konsultan Virologi (2009) di Kolegium Perhimpunan Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik Indonesia.

Acara pengukuhan Prof. Fera sebagai guru besar dihadiri oleh Direktur Utama RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, dr. Supriyanto Sp.B, FINACS, M.Kes.; Team Leader for Health System Strengthening of WHO Representative of Indonesia, Roderick L. Salenga, RPh, MPH; Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, dr. Imran Agus Nurali, Sp.KO; Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, drh. Imron Suandy, MVPH; Asisten Deputi Penanggulangan dan Pengendalian Penyakit, Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dr. Nancy Dian Anggraeni, M.Epid; dan Team Leader FAO ECTAD Indonesia, Dr. Luuk Schoonman.

Related Posts