Smart city merupakan konsep “kota pintar” yang memusatkan operasional kesehariannya pada Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT). Dengan demikian, terjadi peningkatan pelayanan publik yang efektif dan efisien.
Konsep ini sudah didengungkan dan dijalankan oleh beberapa kota di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.
Namun, penerapan konsep ini dalam skala besar masih sulit karena terkendala masalah dana, karena itu diperlukan berbagai alternatif model pendanaan untuk mendanai pembangunan infrastruktur smart city ini.
Alternatif pendanaan inilah yang menjadi fokus pembicaraan pada seminar bertajuk Sustainable Infrastructure: Financing Smart City Development yang diadakan oleh CSID UI di Hotel Crowne Plaza, pada Kamis (28/1/2016).
Seminar ini menghadirkan beberapa narasumber yang kompeten di bidangnya, di antaranya adalah Bambang Susantono (Wakil Presiden Asian Development Bank), dan Suyono Dikun (Executive Board CSID).
“Kapasitas APBN dan APBD cukup terbatas dalam mendanai pembangunan infrastruktur smart city yang berkelanjutan,” ujar Suyono Dikun.
Estimasi kebutuhan infrastruktur Indonesia pada 2015-2019 adalah sebesar Rp5.519,4 triliun, sedangkan APBN dan APBD hanya memiliki kapasitas sebanyak 50,02 persen dari kebutuhan investasi infrastruktur tersebut.
Pendanaan pembangunan smart city dapat dilakukan dengan berbagai alternatif seperti melalui obligasi daerah, Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS), pinjaman hibah, ataupun konsep business to business.
Pusat Kajian Infrastruktur Berkelanjutan (Center of Sustainable Infrastructure Development/CSID) merupakan lembaga riset UI yang tidak hanya berfungsi untuk mengembangkan riset-riset kekinian tentang pembangunan infrasktruktur, namun juga konsep pembangunan berkelanjutan.