Universitas Indonesia kembali mengukuhkan dua Guru Besar Tetap dari Fakultas Kedokteran pada Sabtu (11/1/2020), pukul 10.00 WIB di Aula IMERI FKUI, Kampus UI Salemba.
Sidang terbuka pengukuhan guru besar dipimpin oleh Rektor Universitas Indonesia (UI)Prof. Ari Kuncoro, SE, MA, PhD, yang mengukuhkan dua pakar kesehatan anak yaitu Prof. Dr. dr. Hanifah Oswari, SpA(K) dan Prof. Dr. dr. Hinky Hindra Irawan Satari, SpA(K), MTropPaed.
Pada kesempatan tersebut, Prof. Hanifah menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Transplantasi Hati Anak di Indonesia: Menjangkau Mimpi Menjadi Kenyataan”. Sementara Prof. Hinky menyampaikan pidato berjudul “Imunisasi, Upaya Pencegahan Utama dalam Menunjang Tumbuh Kembang Anak sebagai Sumber Daya Manusia di Masa Depan: Kajian pada Keamanan Vaksin.”
Dalam pidatonya, Prof. Hanifah memfokuskan pada kondisi kelainan hati pada anak, salah satunya adalah atresia bilier. Atresia bilier adalah penyakit yang dahulu sering berakhir fatal.
Namun, dalam 30 tahun terakhir dapat ditolong dengan operasi Kasai atau disembuhkan dengan transplantasi hati. Transplantasi hati merupakan tindakan yang high cost dan high risk.
Namun, dengan adanya perbaikan teknik operasi transplantasi, perawatan setelah operasi dan pengobatan imunusupresan telah membawa transplantasi hati sebagai terapi yang efektif untuk pasien dengan gagal hati.
FKUI-RSCM telah mengembangkan program transplantasi hati ini dengan membentuk Tim Transplantasi Hati. Operasi transplantasi hati pertama berhasil dilakukan bekerja sama dengan Prof. Prabhakaran Krishnan dari National University Hospital, Singapura, pada 10 Desember 2010. Hingga saat ini, pasien tersebut masih sehat dengan hatinya sendiri.
Kerja sama transplantasi berikutnya dilakukan bersama Prof. Mureo Kasahara, MD, PhD, dari National Center for Child Health and Development, Jepang.
Sejak saat itu, jumlah transplantasi hati anak meningkat pesat hingga saat ini sudah 51 pasien anak telah menjalani transplantasi hati. Di bawah supervisi Prof. Kasahara juga, pada 4 April 2018, Tim Transplantasi Hati RSCM-FKUI berhasil melakukan transplantasi mandiri.
“Tim kami menyebutnya transplantasi hati oleh anak bangsa telah berhasil dilakukan,” papar Prof. Hanifah dalam pidatonya. Hingga saat ini, tim telah melakukan 12 kali transplantasi hati mandiri, dengan kondisi seluruh pasien dan donor sehat sampai saat ini.
Keberhasilan transplantasi hati dinilai bukan dari keberhasilan operasi, namun dari berapa lama anak tersebut dapat hidup setelah dilakukan transplantasi hati.
Hal ini tercermin dari angka harapan hidup pasien setelah satu tahun dan lima tahun. Angka harapan hidup pasien setelah satu tahun di RSCM-FKUI adalah 88,9%. Angka ini sebanding dengan yang dilaporkan oleh Jepang (88,3%) dan Amerika Serikat (86%).
Terkait pembiayaan transplantasi hati anak, saat ini penanganan operasi ditanggung oleh RSCM-FKUI serta BPJS Kesehatan, dimana biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan sebesar maksimal Rp 269 juta dari total besaran biaya sekitar Rp 600 juta, sehingga sisanya ditanggung oleh RSCM-FKUI.
“Pada masa mendatang perlu dipikirkan bersama apakah pembiayaan ini akan dibayar penuh oleh BPJS Kesehatan, atau diperbolehkan oleh BPJS adanya iuran biaya oleh pasien, atau pembiayaan dari sumber-sumber lain. Idealnya tentu negara menanggung seluruh biaya transplantasi hati anak agar keberlangsungan program transplantasi hati di Indonesia dapat merata di seluruh Indonesia.” ungkap Prof. Hanifah.
Lebih lanjut, Prof.dr. Hanifah merekomendasikan 5 hal untuk memperbaiki program tranplantasi hati di Indonesia, yaitu deteksi dini dan penanganan atresia bilier; networking perawatan pra dan pascatransplantasi; donor jenazah; pusat-pusat transplantasi hati di Indonesia; serta sistem registrasi transplantasi.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Hinky memaparkan tentang pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan utama dalam menunjang tumbuh kembang anak sebagai sumber daya manusia di masa depan. Imunisasi sudah terbukti merupakan upaya pencegahan di bidang kesehatan yang paling cost effective.
Sampai abad ke-21 ini berbagai negara di dunia telah dapat mengendalikan dua belas penyakit utama. Keberhasilan pembasmian penyakit cacar di dunia, termasuk Indonesia, pada tahun 1976 merupakan bukti bahwa imunisasi merupakan upaya kesehatan primer yang paling berhasil dalam mencegah penyakit.
Di lain pihak, dengan menurunnya penyakit yang semula ditakuti masyarakat, dapat menimbulkan sensasi yang salah dan berbahaya bagi masyarakat, yaitu merasa tidak ada ancaman sehingga menolak untuk divaksinasi.
Beragam alasan mendorong timbulnya keragu-raguan terhadap vaksin, seperti agama, kepercayan, dan keamanan vaksin. Untuk itu, persoalan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang dapat menggelisahkan orang tua perlu ditanggulangi dengan baik sehingga tidak berakibat pada penolakan terhadap imunisasi berikutnya bagi anak mereka.
“Bagian yang terpenting dalam pemantauan KIPI adalah menyediakan informasi kasus KIPI atau diduga kasus KIPI secara lengkap agar dapat dengan cepat dinilai dan dianalisis untuk mengidentifikasi dan merespon suatu masalah. Respon merupakan suatu aspek tindak lanjut yang penting dalam pemantauan KIPI. Tata laksana termasuk pencegahan KIPI yang paripurna akan menjamin kesinambungan program imunisasi, yang memastikan proses tumbuh kembang optimal pada setiap anak Indonesia. Dengan demikian, masyarakat bertambah yakin bahwa program imunisasi di Indonesia aman,” papar Prof. Hinky dalam pidatonya.
Sejumlah upaya telah dilakukan di Indonesia, diantaranya membentuk Komite Nasional Pengkajian & Penanggulangan KIPI (Komnas PP-KIPI) pada tahun 2002 serta membentuk Komite Daerah (KOMDA), sehingga analisis data di setiap provinsi mudah dilakukan. Saat ini telah terbentuk 34 KOMDA KIPI di Indonesia.